Minggu, 15 Juni 2014

Kisah : Timo Daeng Mamanjeng Putra Kaloling Sinjai Timur Sulle hatang Arung Bulo-Bulo

Oleh   :  A. Rauf  TM  Pasanre MA
HP     :  085241510465
Email  : abdrauf180@yahoo.com
Suasana tanah Kaloling pada sore hari, ketika mataharai sudah mulai melemah, redup pasrah pada rayuan kegelapan, yang menandakan bahwa si maha terang itu sebentar lagi akan terbenan. Cuacapun turut ikutan sekonkol mengubah diri terasa dingin  pada  pori-pori dan kulit insan-insan, makhluk paling sempurna  ciptaan Ilahi.
Kondisi tersebut membuat tanah Kaloling berubah menjadi hening, yang tadinya dikenal sebagai daerah panas yang dihiasi dengan bebatuan-bebatuan yang berwarna hitam serta mengkomplitkan karakteristik masyarakatnya pada sifat temperamentalnya.
Pada suasana keheningan itu, duduklah Timo daeng Mamanjeng di ruang depan gubuk yang beratapkan rumbia. Seketika itu pula, berdengin panjang telinga kanannya. Hal itu diyakini bahwa, itu adalah isyarat atau tanda akan ada informasi atau khabar berita baik pada dirinya (menurut kepercayaan orang-orang dahulu).
Tak lama kemudian, dari kejauhan terlihat pemuda separuh baya mengenakan celana pendek tanpa alas kaki dan mengikatkan salung dan selipan senjata tajam  dipinggangnya mengarah ke gubuk Timo Daeng Mamanjeng itu. Pemuda itu berjalan pada pematang kecil, diantara pepohonan-pepohonan dengan lambaian dedaunan tiupan angin seolah-olah bersorak riang gembira dan memberi semangat  hendaknya cepat menemui Timo Daeng Mamanjeng di kediamannya.
Pada waktu timo Daeng Mamanjeng mengintipnya melalui celah-celah dinding gubuk yang terbuat dari bambu itu, tepat pula pemuda itu berdiri di depan pintu gubuk. Langsung pemuda itu memberi salam, kemudian memanggil nama puang timo Daeng Mamnjeng (puang Timo, engkaki  di bolae puang ?  dalam bahasa bugis) artinya apakah pak timo Daeng Mamanjeng ada dirumah. Puang Timo Daeng Mamanjeng menjawabnya : Ia saya ada. Lalu Timo Daeng Mamanjeng mempersilahkan pemuda itu masuk dan duduk di ruang tamu.
Timo Daeng Mamanjeng memasang bajunya yang lengan panjang, memasang kopia dan mengambil kaleng segi empat yang berisi tembakau, kapur dan daun sirih,serta tongkaknya, lalu menemui pemuda itu. Puang timo Daeng Mamanjeng bertanya dengan bahsa aslinya (bugis) : Naulle engka kareba maloppo palattukki anakku ri gubukke? artinya adakah berita penting yang akan disampaikan? Jawab pemuda itu : Toneng puang,  Aleku paletturangngi makkeda naparelluangngi Arung Bulo-Bulo, artinya hamba datang disini dengan membawa khabar bahwa Arung Bulo-Bula membutuhkan orang berani seperti puang Timo Daeng Mamanjeng.
Selanjutnya, pemuda iu bercerita panjang lebar tentang situasi  yang terjadi pada Arung Bulo-Bula. Ceritanya demikian: Arung Bulo-Bulo diundang oleh  Arung Bone untuk membantu mengatasi kelompok  yang menamkan dirinya pemberani yang ada di daerah Peneki. Undangan untuk membantu Arung Bone itu tidak dapat disanggupi oleh Arung Bulo-Bulo. Oleh karena itu, maka dirancankanlah sebuah acara sejenis pesta dengan istilah “abbahaang”(pesta rakyat sejenis kegiatan sayembara) yang diselenggarakan  selama berminggu-minggu, bahkan bulanan untuk mendapat kesatria handal atau pemberani yang akan mengawakili Arung Bulo-Bolu dalam memenuhi undangan tersebut. Konsekwensinya  yakni Arung Bulo-Bulo siap melepaskan seluruh identitas kebesaran Arung kepada siapa saja yang sangguh untuk menyandangnya. Pakaian atau jas kehormatan  Arung akan dipakaikan kepada pemberani dari golongan manapun, sebagai penggnti Arung Bulo-Bulo ketika  itu.
 Informasi itu disebarkan kepada seluruh Masyarakat yang ada di wilayah  kekuasaan Arung Bulo-Bulo tanpa terkecuali. Dengan lain perkataan bahwa seluruh Masyarakat dari berbagai lapisan yang ada di wilayah kekuasaan  Arung Bulo-Bulo mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkan sayembara itu. Namun demikian, sangatlah disayangkan, minggu demi minggu telah berlalu, bulan demi bulanpun telah usai, tetapi tak seorangpun yang datang untuk mendaftarkan dirinya.
 Rasa kecewa yang tak dapat disembunyi oleh Arung Bulo-Bulo, begitu sangat jelas terlihat diwajahnya.Namun pada akhirnya, dengan tekad dan semangatnya menentukan sendiri pilihannya dengan menawarkan kepada Timo Daeng Mamnjeng. Seorang putra Kaloling yang memang memiliki jejak keberanian  yang sudah tidak diragukan  lagi oleh Arung Bulo-Bulo bahkan  oleh masyarakat Bulo-Bulo pada saat itu. Arung Bulo-Bulo sangat yakin dengan alternatif pilihannya itu. Harapan keberhasilan dalam penentuan pilihannya  yakin betul sempurna. Arung  kenal benar sepak terjang  kesatria putra Kaloling, saudara Timo Daeng Mamanjeng.
Sungguhpun demikian, Timo Daeng Mamanjeng tidak serta merta menerima tawaran yang disampaikan oleh pemuda itu. Akan tetapi Timo Daeng Mamanjeng memohon kesempatan untuk memikirkan secara matang. Kemudian, sebelum pemuda itu meninggalkan rumah kediaman Timo Daeng Mamanjeng, maka berpesanlah Timo Daeng Mamnjeng kepada Pemuda itu. Ucapannya: dengan sembah sujudku,  sampaikan segera kepada Arung Bulo-Bulo bahwa bersabarlah menanti petunjuk yang memberkahi kepastian itu.  Hambah kini (Timo Daeng Mamanjeng) siap bersegera dengan do’anya.
Setelah mempertimbangkan selama satu hari satu malam, maka Timo Daeng Mamanjeng menyanggupi permintaan Arung Bulo-Bulo dengan mengajukan persyaratan. Syaratnya sebagai berikut: Timo Daeng Mamanjeng siap sedia untuk mewakili Arung Bulo-Bulo, tetapi dirinya  harus menentukan atau memilih sendiri siapa-siapa yang akan mendapinginya, tanpa campur tangan Arung di dalamnya. Kalau  sekiranya syarat itu dipenuhi Arung, maka Timo Daeng Mamanjeng,  kesatria bugis dari tanah Kaloling berani untuk diterjuangkan ke medan sasaran sebagai pengganti  Arung Bulo-Bulo sekaligus wakil kehormatan dari wilayah  kekuasaan kerajaan atau Arung dari Tellullimpoe ( Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti).
Mengetahui persyaratan yang dijukan oleh Timo Daeng Mamanjeng itu, Arung Bulo-Bulo tanpa berpikir panjang langsung saja menyetujui  syarat yang diajukan oleh Timo Daeng Mamanjeng. Oleh karena itu, pada malam harinya, Timo Daeng Mamanjeng mengundang seluruh pendekar–pendekar kampung untuk mempersatukan persepsi mereka dalam mengembang tugas perwakilan  sebagai pengganti pelaksana tugas dan  tanggung jawab Arung Bulo-Bulo yang mendapat  undangan kehormatan oleh Arung Bone untuk menuntaskan masalah besar  yang terjadi di Peneki.
Untuk itu, diadakan  segera pertemuan singkat oleh Timo Daeng Mamanjeng di kediamannya. Pada malam pertemuan itu, sempat dihadiri oleh enam orang anggota  ponggawa kampung dengan berbagai keahlian, ditambah dengan beberapa orang pembantu yang akan bertugas untuk membawa persenjataan dan perbekalan dan sebagainya menuju medan juang yang telah direncanakan.
Hari-hari telah berlalu, persiapan telah matang, tiba pulalah hari keberuntungan maka  sebelum ayam berkokok berangkatlah pasukan Timo Daeng Mamanjeng menuju peneki. Sebuah Kampung yang jauh dari Bulo-Bulo. Kampung itu memiliki jarak tempuh kurang lebih satu hari satu malam. Oleh karena itu, rombongan Timo Daeng Mamanjeng memperkirakan akan tiba tepat lewat tengah malam di tempat tujuan.
Walhasil, perkiraan jarak tempuh yang diprediksi oleh rombongan Timo Daeng Mamanjeng tidak terlalu jauh meleset. Tepat pukul 02.30 tibalah rombongan Timo Daeng Mamanjeng di medan laga. Dengan berbekal peta sederhana yang dibuat sendiri oleh pembantu Timo Daeng Mamanjeng yang memiliki otoritas keahlian tentang itu, maka  diataurlah segala sesuatunya berdasarkan petunjuk peta tersebut.
Selanjutnya , Timo Daeng Mamanjeng menyusun taktik dan strategi yang sangat sedehana. Strategi manipulasinya hanya menebang kayu kecil dan menancapkan tongkaknya di tanah  secara berpindah-pindah dan diikuti dengan tapak kaki serta semburan ludah dari makan sirih. Hal itu dilakukan disetiap sudut pada wilayah tersebut. Kemudian Rombongan Timo Daeng Mamanjeng mengamankan pasukannya dengan berlindung di balik gunung. Selanjutnya mengintai kedua kubu pasukan besar yang selama ini selalu berperang.
Taktik dan tipu daya yang dilakukan pasukan Timo Daeng Mamanjeng itu dimaksudkan supaya lawan mengira rombongan yang datang adalah rombongan yang sangat  besar, sehingga dapat melemahkan atau menurunkan nyali lawan-lawannya.  Sungguh ampuh benar, ide yang dipikirkan Oleh Timo Daeng Mamanjeng dalam menyusun rencana itu sangat  tepat sekali. Buktinya, pasukan yang menamankan dirinya pasukan pemberani, pada kedua kubu itu mundur jauh dari garis batas wilayah pertempuran itu.
Namun demikian, kontak pisik dari kedua kubu itu tetap tak terhindarkan, dan mencapai puncaknya  menjelang subuh dini hari. Sementara pasukan  dari kubu Timo Daeng Mamanjeng sepanjang pertempuran itu berlangsung, hanya mengintai dan mengawasi  perseteruan itu dari balik gunung. Nanti menjelang subuh dini hari, ketika pasukan dari kedua kubu tersebut sudah banyak berguguran serta suara senjata tinggal sesekali berbunyi, barulah pasukan Timo Daeng Mamanjeng maju berhadapan langsung dengan pasukan yang masih tersisa pada pertempuran itu. Dengan tak terduga, pimpinan pasukan yang berambut panjang hampir sampai  ke tanah itu, tepat dihadapan kesatria  Timo Daeng Mamanjeng. Dalam pada itu, kecerdikan,kelihaian, dan kesempurnaan ilmu silat yang dimiliki oleh Timo Daeng Mamanjeng turut menentukan kemenangannya. Akhirnya, rambut panjang si pimpinan pasukan itu  terpaksa pasrah menjadi pengganti tali pengikat leher pemiliknya di pohon kayu yang masih berdiri  kokoh dihadapannya. Seketika itu, maka seluruh pasukannya  menyerah tanpa syarat serta membuang semua persenjataannya, lalu mengangkat kedua tangannya sebagai tanda kekalahannya itu.
Selanjutnya pasukan Timo Daeng Mamanjeng mengambil pengikat  dan bambu yang telah dilubangi ujungnnya lalu dikalungkan dileher pimpinan si rambut panjang yang selama ini  dikenal sebagai pemberontak yang tiada tandingannya. Pada  saat itu tiba hari sialnya dan tamatlah riwayat kesatriannya atas taklukan pasukan Timo Daeng Mamanjeng.
Pasukan Timo Daeng Mamanjeng  mengikat satu persatu anggota taklukannya lalu mengantarnya  untuk menghadap pada Arung Bone sebagai bukti kemenangan yang diperoleh pasukan Timo Daeng Mamanjeng. Setibanya di kediaman Arung Bone, diikatlah di bawah kolom rumah tahanan tersebut, lalu Timo Daeng Mamanjeng langsung bergegas untuk melapor kepada Arung Bone bahwa tugas yang diembang telah selesai dan selanjutnya Timo Daeng Mamanjeng bersama rombongannya akan memohon pamit untuk kembali ke kampung halamannya di tanah  Kaloling, Bulo-Bulo, tellulimpoe.
Namun, sebelum Timo Daeng Mamanjeng tiba dihadapan Arung Bone, dari balik jendela terlihat Timo Daeng Mamanjeng oleh Arung Bone. Dan berkatalah Arung Bone, telah datang  Arung Bulu-Bulo dengan membawa kemenangan.sambutlah kedatangnya dengan memberi penghormatan. Semua pengawal Arung memberi penghormatan kepadanya. Lalu memberi hormat pula Timo Daeng Mamanjeng kepada Arung Bone sekaligus melaporkan tugasnya. Berkatalah Arung Bone, bahwa saya tidak dapat membalas hasil perjuanganmu Arung Bulo-Bulo, tidak bisa pula saya membayarnya dengan harta ataukah uang. Hanya saya mampu memberikan hadiah sebagai bekal dalam perjalananmu berupa 12 orang tahanan yang bisa kamu belanjakan di perjalanan.
Arung Bulo-Bulo dalam hal ini Timo Daeng Mamanjeng menerima ke 12 orang budak  tersebut, lalu memohon pamit untuk melanjutkan perjalanan pulang ke tanah Kaloling kampung halamannya. Selama perjalanannya  dari tanah Bone ke tanah Kaloling tujuh kali mengadakan persinggahan. Setiap rumah tempat persinggahan dibayar  pelayanannya satu orang  budak. Perlu pula diketahui bahwa jarak tempuh dengan jalan kaki pada perjalanan  dari wilayah kekuasaan Arung Bone ke wilayah Arung Bulo-Bulo sangatlah jauh dan melelahkan. Oleh karena itu, pada perjalan tersebut terhitung enam kali persinggahan berarti harus dibayar dengan enam orang budak. Kemudian rombongan Timo Daeng Mamanjeng singgah lagi di rumah kediaman Arung Bulo-Bulo di Sinjai, juga harus dibayar satu orang budak. Dengan demikian praktis tinggal  lima orang budak yang dibawa Timo Daeng Mamanjeng sampai ke tanah Kaloling. Budak-budak itulah yang disebarkan ke berbagai tempat di tanah Kaloling, diantaranya ada yang ditempatkan di  To Bunne, di to Cabbeng, di to Haddo, dan sebagainya,.
 Pada awalnya, para budak-budak tahanan yang dihadiakan Arung Bulo-Bulo yang dipangkuh oleh Timo Daeng Mamanjeng dalam melaksanakan aktifitas kesehariannya masih  kelihatan dengan jelas  statusnya  itu. Akan tetapi setelah  lama kelamaan bermukin di daerah itu, akhirnya banyak yang kawin dengan masyarakat biasa. Lambat laum mereka membaur dengan masyarakat  biasa yang ada di Kaloling. Bahkan diantara keturunan mereka itu sudah  ada yang kawin dengan masyarakat  yang tergolong keturunan bangsawan. Maka dari  itu sangatlah sulit untuk diketahui riwayat keturunannya.
            Oleh karena itu, sudah saatlah  kita harus  mempunyai niat(nawaetuh) yang tulus serta bersikap arif dan bijaksana untuk mengungkap jejak kebenaran yang sesungguhnya.  Nuansa berfikir dan dasar logikanya musti diarahkan pada suatu realita sejarah yang perlu kiranya diketahui secara pasti oleh seluruh lapisan masyarakat, bahwa orang-orang tahanan yang diberikan Arung Bulo-Bulo (Timo Daeng Mamanjeng) oleh Arung Bone pada waktu memenangkan peperangan itu adalah semuanya  laki-laki dan tak satupun perempuan. Hal ini dapat membuat masalah menjadi terang benderang pada kelompok masyarakat yang menganut garis keturunan Bapak. Artinya, bahwa dalam konteks ini sangat keliru kalau langsung mengubah status  delegasi garis keturunan itu tanpa ada alasan yang jelas pada kelompok  masyarakat tersebut.
            Sesungguhnya tidaklah diharamkan bahkan sah-sah saja kalau ada dari keturunan mereka yang memiliki kompetensi menjadi pemimpin di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Akan tetapi janganlah mengabaikan bibit-bibit unggul yang tidak memiliki cacat silsilah dalam  kisah kehidupannya, terutama dari sisi garis keturunan serta memiliki kompetensi yang sama bahkan melebihi kompetensi yang dimiliki oleh  mereka.
            Sungguhpun syarat untuk memilih imam memang bukan satu-satunya unsurnya adalah keturunan, tetapi tidak musti  harus mengaburkan  semua teori kebenaran, bahwa  kalau tidak  bisa mengambil sebagian janganlah meninggalkan semuanya. Semangat juang dan kharismatik  sosok kpemimpin Timo Daeng Mamanjeng pada zamannya harus tetap diabadikan. Penghargaan yang diharapkan terhadapnya tak cukup hanya  tuturan dalam bentuk lisan semata, tetapi memperjelas kisah dan garis keturunannya, itu mungkin bagian terpenitng  dalam realita menghargai jasa-jasanya. Kalaulah ungkapan itu benar, yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Maka padanan maknanya sekolokasi dengan makna bahwa  komunitas masyarakat yang besar itu  ditentukan oleh jiwa penghargaannya terhadap  pendahulunya.
            Timo Daeng Mamanjeng sebagai sosok pendahulu masyarakat tanah Kaloling, dikenal pemberani, jujur, bersahabat, konsekwen dengan prinsipnya, diwujudkan dengan senboyang, yakni: bukti menyatakan dan satu kata dengan perbuatan. Kalau ditelusuri secara saksama pola kepemimpinan Sosok Timo Daeng Mamanjeng di tanah Kaloling, sebenarnya tidaklah berjuang sendirian. Akan tetapi memiliki pendamping-pendamping yang sangat setia dan handal. Pendamping-pendamping tersebut diberikan tugas utama untuk menyelesaikan semua persoalan-persoalan kecil secara internal yang terjadi di kampung itu. Sedangkan persoalan-persoalan besar dan persoalan-persoalan yang bersifat eksternal ditangani langsung oleh Timo Daeng Mamanjeng.
 Salah satu pendamping Timo Daeng Mamanjeng yang namanya sangat popular adalah Puang Lamalo. Puang Lamalo ini diabadikan namanya pada sebuah Kampung  yang diberi nama Kampung Lamalo. Kampung tersebut berdampingan dengan Kampung Tomanjeng yang berasal dari nama Timo Daeng Mamanjeng.
Pengabadian nama-nama tokoh masyarakat pada sebuah kampung, sesungguhnya bukanlah lahir begitu saja tanpa  mengandung makna  bagi kehidupan manusia. Akan tetapi itu semua menunjukkan bias kecerdasan berpikir orang-orang terdahulu. Ide dan gagasan cemerlang tersebut mengandung makna bahwa fakta sejarah kehidupan manusia adalah bagian yang sangat esensial  sebagai  komfonen penting dan sangat menentukan keberhasilan dalam membangun peradaban  umat manusia di masa yang akan datang.
Disadari atau tidak, fakta  sejarah berupa pengabadian nama seseorang pada sebuah  tempat atau kampung itu merupakan warisan yang  memiliki nilai keemasan yang sangat berharga  bagi generasi berikutnya. Dapat dibayangkan kalau seandainya tidak ada keterangan-keterangan atau bukti-bukti yang dapat dipedomani untuk menata gerak kehidupan ini, pasti semua membingunkan dan tidak jelas arahnya. Pengabadian nama yang dilakukan oleh generasi masa lalu akan memberikan sebuah inspirasi bahwa sejak dahulu kala  benih-benih peradaban manusia telah tumbuh dan berkembang. Kisah kehidupan seorang pemberani Timo Daeng Mamanjeng sebagai salah satu contoh yang dapat mengungkap sisi derajat keberadaan  peradaban umat manusia pada masa lalu, sekaligus dapat menjadi cikal bakal untuk mengembangkannya pada masa sekarang ini.
Di tanah air kecintaan kita Indonesia ini, kalau mau secara jujur mencari sosok manusia pejuang kemanusian seperti sosok Timo Daeng Mamanjeng,  kiranya tidaklah terasa sulit bilamana ada yang menelusurinya dari  ujung barat sampai ke ujung timur, pada seluruh komunitas kehidupan manusia sejak tanah tumpah darah ini dihuni manusia. Diberbagai komunitas kehidupan manusia mungkin saja bakal ditemukan pejuang-pejuang yang tidak sempat diabadikan namanya sebagai perjuang bangsa ini.  Lalu pertanyaannya kemudian adalah sudah sempurnakah keadilan yang diperlakukan terhadap siapa saja yang berjasa ditanah air ini ? Masih adakah sosok pejuang yang tidak dihargai perjuangannya hanya karena kurang informasi atau data terhadapnya disebabkan informannya sudah tiada? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanayaan yang harus dijawab oleh kita semua, serta tidak berakahir sampai disitu saja, tetapi terus dan terus mencari data-data yang akurat agar dapat mendapat simpulan  interpretasi yang benar dan tepat. Hal tersebut, sebagai pekerjaan rumah yang tidak  boleh ditunda lagi, karena generasi sudah menunggu hasilnya.