Oleh : A. Rauf
TM Pasanre MA
HP : 085241510465Email : abdrauf180@yahoo.com
Suasana tanah
Kaloling pada sore hari, ketika mataharai sudah mulai melemah, redup pasrah
pada rayuan kegelapan, yang menandakan bahwa si maha terang itu sebentar lagi
akan terbenan. Cuacapun turut ikutan sekonkol mengubah diri terasa dingin pada pori-pori dan kulit insan-insan, makhluk
paling sempurna ciptaan Ilahi.
Kondisi tersebut
membuat tanah Kaloling berubah menjadi hening, yang tadinya dikenal sebagai
daerah panas yang dihiasi dengan bebatuan-bebatuan yang berwarna hitam serta mengkomplitkan
karakteristik masyarakatnya pada sifat temperamentalnya.
Pada suasana
keheningan itu, duduklah Timo daeng Mamanjeng di ruang depan gubuk yang
beratapkan rumbia. Seketika itu pula, berdengin panjang telinga kanannya. Hal
itu diyakini bahwa, itu adalah isyarat atau tanda akan ada informasi atau
khabar berita baik pada dirinya (menurut kepercayaan orang-orang dahulu).
Tak lama
kemudian, dari kejauhan terlihat pemuda separuh baya mengenakan celana pendek
tanpa alas kaki dan mengikatkan salung dan selipan senjata tajam dipinggangnya mengarah ke gubuk Timo Daeng Mamanjeng
itu. Pemuda itu berjalan pada pematang kecil, diantara pepohonan-pepohonan
dengan lambaian dedaunan tiupan angin seolah-olah bersorak riang gembira dan
memberi semangat hendaknya cepat menemui
Timo Daeng Mamanjeng di kediamannya.
Pada waktu timo
Daeng Mamanjeng mengintipnya melalui celah-celah dinding gubuk yang terbuat
dari bambu itu, tepat pula pemuda itu berdiri di depan pintu gubuk. Langsung
pemuda itu memberi salam, kemudian memanggil nama puang timo Daeng Mamnjeng (puang
Timo, engkaki di bolae puang ? dalam bahasa bugis) artinya apakah pak timo
Daeng Mamanjeng ada dirumah. Puang Timo Daeng Mamanjeng menjawabnya : Ia saya
ada. Lalu Timo Daeng Mamanjeng mempersilahkan pemuda itu masuk dan duduk di
ruang tamu.
Timo Daeng Mamanjeng
memasang bajunya yang lengan panjang, memasang kopia dan mengambil kaleng segi
empat yang berisi tembakau, kapur dan daun sirih,serta tongkaknya, lalu menemui
pemuda itu. Puang timo Daeng Mamanjeng bertanya dengan bahsa aslinya (bugis) :
Naulle engka kareba maloppo palattukki anakku ri gubukke? artinya adakah berita
penting yang akan disampaikan? Jawab pemuda itu : Toneng puang, Aleku paletturangngi makkeda naparelluangngi
Arung Bulo-Bulo, artinya hamba datang disini dengan membawa khabar bahwa Arung
Bulo-Bula membutuhkan orang berani seperti puang Timo Daeng Mamanjeng.
Selanjutnya,
pemuda iu bercerita panjang lebar tentang situasi yang terjadi pada Arung Bulo-Bula. Ceritanya
demikian: Arung Bulo-Bulo diundang oleh
Arung Bone untuk membantu mengatasi kelompok yang menamkan dirinya pemberani yang ada di
daerah Peneki. Undangan untuk membantu Arung Bone itu tidak dapat disanggupi
oleh Arung Bulo-Bulo. Oleh karena itu, maka dirancankanlah sebuah acara sejenis
pesta dengan istilah “abbahaang”(pesta rakyat sejenis kegiatan sayembara) yang
diselenggarakan selama berminggu-minggu,
bahkan bulanan untuk mendapat kesatria handal atau pemberani yang akan
mengawakili Arung Bulo-Bolu dalam memenuhi undangan tersebut. Konsekwensinya yakni Arung Bulo-Bulo siap melepaskan seluruh
identitas kebesaran Arung kepada siapa saja yang sangguh untuk menyandangnya.
Pakaian atau jas kehormatan Arung akan
dipakaikan kepada pemberani dari golongan manapun, sebagai penggnti Arung
Bulo-Bulo ketika itu.
Informasi itu disebarkan kepada seluruh
Masyarakat yang ada di wilayah kekuasaan
Arung Bulo-Bulo tanpa terkecuali. Dengan lain perkataan bahwa seluruh
Masyarakat dari berbagai lapisan yang ada di wilayah kekuasaan Arung Bulo-Bulo mempunyai kesempatan yang sama
untuk memenangkan sayembara itu. Namun demikian, sangatlah disayangkan, minggu
demi minggu telah berlalu, bulan demi bulanpun telah usai, tetapi tak
seorangpun yang datang untuk mendaftarkan dirinya.
Rasa kecewa yang tak dapat disembunyi oleh
Arung Bulo-Bulo, begitu sangat jelas terlihat diwajahnya.Namun pada akhirnya,
dengan tekad dan semangatnya menentukan sendiri pilihannya dengan menawarkan
kepada Timo Daeng Mamnjeng. Seorang putra Kaloling yang memang memiliki jejak
keberanian yang sudah tidak
diragukan lagi oleh Arung Bulo-Bulo
bahkan oleh masyarakat Bulo-Bulo pada
saat itu. Arung Bulo-Bulo sangat yakin dengan alternatif pilihannya itu.
Harapan keberhasilan dalam penentuan pilihannya
yakin betul sempurna. Arung kenal
benar sepak terjang kesatria putra
Kaloling, saudara Timo Daeng Mamanjeng.
Sungguhpun
demikian, Timo Daeng Mamanjeng tidak serta merta menerima tawaran yang
disampaikan oleh pemuda itu. Akan tetapi Timo Daeng Mamanjeng memohon
kesempatan untuk memikirkan secara matang. Kemudian, sebelum pemuda itu meninggalkan
rumah kediaman Timo Daeng Mamanjeng, maka berpesanlah Timo Daeng Mamnjeng
kepada Pemuda itu. Ucapannya: dengan sembah sujudku, sampaikan segera kepada Arung Bulo-Bulo bahwa
bersabarlah menanti petunjuk yang memberkahi kepastian itu. Hambah kini (Timo Daeng Mamanjeng) siap
bersegera dengan do’anya.
Setelah
mempertimbangkan selama satu hari satu malam, maka Timo Daeng Mamanjeng
menyanggupi permintaan Arung Bulo-Bulo dengan mengajukan persyaratan. Syaratnya
sebagai berikut: Timo Daeng Mamanjeng siap sedia untuk mewakili Arung
Bulo-Bulo, tetapi dirinya harus
menentukan atau memilih sendiri siapa-siapa yang akan mendapinginya, tanpa
campur tangan Arung di dalamnya. Kalau sekiranya syarat itu dipenuhi Arung, maka Timo
Daeng Mamanjeng, kesatria bugis dari
tanah Kaloling berani untuk diterjuangkan ke medan sasaran sebagai
pengganti Arung Bulo-Bulo sekaligus
wakil kehormatan dari wilayah kekuasaan kerajaan
atau Arung dari Tellullimpoe ( Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti).
Mengetahui
persyaratan yang dijukan oleh Timo Daeng Mamanjeng itu, Arung Bulo-Bulo tanpa
berpikir panjang langsung saja menyetujui
syarat yang diajukan oleh Timo Daeng Mamanjeng. Oleh karena itu, pada
malam harinya, Timo Daeng Mamanjeng mengundang seluruh pendekar–pendekar kampung
untuk mempersatukan persepsi mereka dalam mengembang tugas perwakilan sebagai pengganti pelaksana tugas dan tanggung jawab Arung Bulo-Bulo yang
mendapat undangan kehormatan oleh Arung
Bone untuk menuntaskan masalah besar
yang terjadi di Peneki.
Untuk itu,
diadakan segera pertemuan singkat oleh
Timo Daeng Mamanjeng di kediamannya. Pada malam pertemuan itu, sempat dihadiri
oleh enam orang anggota ponggawa kampung
dengan berbagai keahlian, ditambah dengan beberapa orang pembantu yang akan
bertugas untuk membawa persenjataan dan perbekalan dan sebagainya menuju medan
juang yang telah direncanakan.
Hari-hari telah
berlalu, persiapan telah matang, tiba pulalah hari keberuntungan maka sebelum ayam berkokok berangkatlah pasukan
Timo Daeng Mamanjeng menuju peneki. Sebuah Kampung yang jauh dari Bulo-Bulo.
Kampung itu memiliki jarak tempuh kurang lebih satu hari satu malam. Oleh
karena itu, rombongan Timo Daeng Mamanjeng memperkirakan akan tiba tepat lewat
tengah malam di tempat tujuan.
Walhasil,
perkiraan jarak tempuh yang diprediksi oleh rombongan Timo Daeng Mamanjeng
tidak terlalu jauh meleset. Tepat pukul 02.30 tibalah rombongan Timo Daeng
Mamanjeng di medan laga. Dengan berbekal peta sederhana yang dibuat sendiri
oleh pembantu Timo Daeng Mamanjeng yang memiliki otoritas keahlian tentang itu,
maka diataurlah segala sesuatunya
berdasarkan petunjuk peta tersebut.
Selanjutnya ,
Timo Daeng Mamanjeng menyusun taktik dan strategi yang sangat sedehana.
Strategi manipulasinya hanya menebang kayu kecil dan menancapkan tongkaknya di
tanah secara berpindah-pindah dan
diikuti dengan tapak kaki serta semburan ludah dari makan sirih. Hal itu
dilakukan disetiap sudut pada wilayah tersebut. Kemudian Rombongan Timo Daeng
Mamanjeng mengamankan pasukannya dengan berlindung di balik gunung. Selanjutnya
mengintai kedua kubu pasukan besar yang selama ini selalu berperang.
Taktik dan tipu
daya yang dilakukan pasukan Timo Daeng Mamanjeng itu dimaksudkan supaya lawan
mengira rombongan yang datang adalah rombongan yang sangat besar, sehingga dapat melemahkan atau
menurunkan nyali lawan-lawannya. Sungguh
ampuh benar, ide yang dipikirkan Oleh Timo Daeng Mamanjeng dalam menyusun
rencana itu sangat tepat sekali.
Buktinya, pasukan yang menamankan dirinya pasukan pemberani, pada kedua kubu
itu mundur jauh dari garis batas wilayah pertempuran itu.
Namun demikian,
kontak pisik dari kedua kubu itu tetap tak terhindarkan, dan mencapai
puncaknya menjelang subuh dini hari.
Sementara pasukan dari kubu Timo Daeng
Mamanjeng sepanjang pertempuran itu berlangsung, hanya mengintai dan
mengawasi perseteruan itu dari balik
gunung. Nanti menjelang subuh dini hari, ketika pasukan dari kedua kubu
tersebut sudah banyak berguguran serta suara senjata tinggal sesekali berbunyi,
barulah pasukan Timo Daeng Mamanjeng maju berhadapan langsung dengan pasukan
yang masih tersisa pada pertempuran itu. Dengan tak terduga, pimpinan pasukan
yang berambut panjang hampir sampai ke
tanah itu, tepat dihadapan kesatria Timo
Daeng Mamanjeng. Dalam pada itu, kecerdikan,kelihaian, dan kesempurnaan ilmu
silat yang dimiliki oleh Timo Daeng Mamanjeng turut menentukan kemenangannya.
Akhirnya, rambut panjang si pimpinan pasukan itu terpaksa pasrah menjadi pengganti tali
pengikat leher pemiliknya di pohon kayu yang masih berdiri kokoh dihadapannya. Seketika itu, maka
seluruh pasukannya menyerah tanpa syarat
serta membuang semua persenjataannya, lalu mengangkat kedua tangannya sebagai
tanda kekalahannya itu.
Selanjutnya
pasukan Timo Daeng Mamanjeng mengambil pengikat
dan bambu yang telah dilubangi ujungnnya lalu dikalungkan dileher
pimpinan si rambut panjang yang selama ini
dikenal sebagai pemberontak yang tiada tandingannya. Pada saat itu tiba hari sialnya dan tamatlah
riwayat kesatriannya atas taklukan pasukan Timo Daeng Mamanjeng.
Pasukan Timo
Daeng Mamanjeng mengikat satu persatu
anggota taklukannya lalu mengantarnya
untuk menghadap pada Arung Bone sebagai bukti kemenangan yang diperoleh
pasukan Timo Daeng Mamanjeng. Setibanya di kediaman Arung Bone, diikatlah di
bawah kolom rumah tahanan tersebut, lalu Timo Daeng Mamanjeng langsung bergegas
untuk melapor kepada Arung Bone bahwa tugas yang diembang telah selesai dan
selanjutnya Timo Daeng Mamanjeng bersama rombongannya akan memohon pamit untuk
kembali ke kampung halamannya di tanah Kaloling, Bulo-Bulo, tellulimpoe.
Namun, sebelum
Timo Daeng Mamanjeng tiba dihadapan Arung Bone, dari balik jendela terlihat
Timo Daeng Mamanjeng oleh Arung Bone. Dan berkatalah Arung Bone, telah
datang Arung Bulu-Bulo dengan membawa
kemenangan.sambutlah kedatangnya dengan memberi penghormatan. Semua
pengawal Arung memberi penghormatan kepadanya. Lalu memberi hormat pula Timo
Daeng Mamanjeng kepada Arung Bone sekaligus melaporkan tugasnya. Berkatalah
Arung Bone, bahwa saya tidak dapat membalas hasil perjuanganmu Arung Bulo-Bulo,
tidak bisa pula saya membayarnya dengan harta ataukah uang. Hanya saya mampu
memberikan hadiah sebagai bekal dalam perjalananmu berupa 12 orang tahanan yang
bisa kamu belanjakan di perjalanan.
Arung Bulo-Bulo
dalam hal ini Timo Daeng Mamanjeng menerima ke 12 orang budak tersebut, lalu memohon pamit untuk
melanjutkan perjalanan pulang ke tanah Kaloling kampung halamannya. Selama perjalanannya dari tanah Bone ke tanah Kaloling tujuh kali
mengadakan persinggahan. Setiap rumah tempat persinggahan dibayar pelayanannya satu orang budak. Perlu pula diketahui bahwa jarak tempuh
dengan jalan kaki pada perjalanan dari
wilayah kekuasaan Arung Bone ke wilayah Arung Bulo-Bulo sangatlah jauh dan
melelahkan. Oleh karena itu, pada perjalan tersebut terhitung enam kali
persinggahan berarti harus dibayar dengan enam orang budak. Kemudian rombongan
Timo Daeng Mamanjeng singgah lagi di rumah kediaman Arung Bulo-Bulo di Sinjai,
juga harus dibayar satu orang budak. Dengan demikian praktis tinggal lima orang budak yang dibawa Timo Daeng
Mamanjeng sampai ke tanah Kaloling. Budak-budak itulah yang disebarkan ke
berbagai tempat di tanah Kaloling, diantaranya ada yang ditempatkan di To Bunne, di to Cabbeng, di to Haddo, dan
sebagainya,.
Pada awalnya, para budak-budak tahanan yang
dihadiakan Arung Bulo-Bulo yang dipangkuh oleh Timo Daeng Mamanjeng dalam
melaksanakan aktifitas kesehariannya masih
kelihatan dengan jelas statusnya itu. Akan tetapi setelah lama kelamaan bermukin di daerah itu, akhirnya
banyak yang kawin dengan masyarakat biasa. Lambat laum mereka membaur dengan
masyarakat biasa yang ada di Kaloling.
Bahkan diantara keturunan mereka itu sudah
ada yang kawin dengan masyarakat
yang tergolong keturunan bangsawan. Maka dari itu sangatlah sulit untuk diketahui riwayat keturunannya.
Oleh karena itu, sudah saatlah kita harus mempunyai niat(nawaetuh) yang tulus serta
bersikap arif dan bijaksana untuk mengungkap jejak kebenaran yang sesungguhnya. Nuansa berfikir dan dasar logikanya musti
diarahkan pada suatu realita sejarah yang perlu kiranya diketahui secara pasti
oleh seluruh lapisan masyarakat, bahwa orang-orang tahanan yang diberikan Arung
Bulo-Bulo (Timo Daeng Mamanjeng) oleh Arung Bone pada waktu memenangkan
peperangan itu adalah semuanya laki-laki
dan tak satupun perempuan. Hal ini dapat membuat masalah menjadi terang
benderang pada kelompok masyarakat yang menganut garis keturunan Bapak.
Artinya, bahwa dalam konteks ini sangat keliru kalau langsung mengubah status delegasi garis keturunan itu tanpa ada alasan
yang jelas pada kelompok masyarakat
tersebut.
Sesungguhnya tidaklah diharamkan
bahkan sah-sah saja kalau ada dari keturunan mereka yang memiliki kompetensi
menjadi pemimpin di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Akan tetapi janganlah
mengabaikan bibit-bibit unggul yang tidak memiliki cacat silsilah dalam kisah kehidupannya, terutama dari sisi garis
keturunan serta memiliki kompetensi yang sama bahkan melebihi kompetensi yang
dimiliki oleh mereka.
Sungguhpun syarat untuk memilih imam
memang bukan satu-satunya unsurnya adalah keturunan, tetapi tidak musti harus mengaburkan semua teori kebenaran, bahwa kalau tidak
bisa mengambil sebagian janganlah meninggalkan semuanya. Semangat juang
dan kharismatik sosok kpemimpin Timo
Daeng Mamanjeng pada zamannya harus tetap diabadikan. Penghargaan yang
diharapkan terhadapnya tak cukup hanya
tuturan dalam bentuk lisan semata, tetapi memperjelas kisah dan garis
keturunannya, itu mungkin bagian terpenitng
dalam realita menghargai jasa-jasanya. Kalaulah ungkapan itu benar, yang
mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
pahlawannya. Maka padanan maknanya sekolokasi dengan makna bahwa komunitas masyarakat yang besar itu ditentukan oleh jiwa penghargaannya
terhadap pendahulunya.
Timo Daeng Mamanjeng sebagai sosok
pendahulu masyarakat tanah Kaloling, dikenal pemberani, jujur, bersahabat, konsekwen
dengan prinsipnya, diwujudkan dengan senboyang, yakni: bukti menyatakan dan
satu kata dengan perbuatan. Kalau ditelusuri secara saksama pola
kepemimpinan Sosok Timo Daeng Mamanjeng di tanah Kaloling, sebenarnya tidaklah
berjuang sendirian. Akan tetapi memiliki pendamping-pendamping yang sangat
setia dan handal. Pendamping-pendamping tersebut diberikan tugas utama untuk
menyelesaikan semua persoalan-persoalan kecil secara internal yang terjadi di
kampung itu. Sedangkan persoalan-persoalan besar dan persoalan-persoalan yang
bersifat eksternal ditangani langsung oleh Timo Daeng Mamanjeng.
Salah satu pendamping Timo Daeng Mamanjeng
yang namanya sangat popular adalah Puang Lamalo. Puang Lamalo ini diabadikan
namanya pada sebuah Kampung yang diberi
nama Kampung Lamalo. Kampung tersebut berdampingan dengan Kampung Tomanjeng
yang berasal dari nama Timo Daeng Mamanjeng.
Pengabadian
nama-nama tokoh masyarakat pada sebuah kampung, sesungguhnya bukanlah lahir
begitu saja tanpa mengandung makna bagi kehidupan manusia. Akan tetapi itu semua
menunjukkan bias kecerdasan berpikir orang-orang terdahulu. Ide dan gagasan
cemerlang tersebut mengandung makna bahwa fakta sejarah kehidupan manusia
adalah bagian yang sangat esensial
sebagai komfonen penting dan
sangat menentukan keberhasilan dalam membangun peradaban umat manusia di masa yang akan datang.
Disadari atau
tidak, fakta sejarah berupa pengabadian
nama seseorang pada sebuah tempat atau kampung
itu merupakan warisan yang memiliki nilai
keemasan yang sangat berharga bagi
generasi berikutnya. Dapat dibayangkan kalau seandainya tidak ada
keterangan-keterangan atau bukti-bukti yang dapat dipedomani untuk menata gerak
kehidupan ini, pasti semua membingunkan dan tidak jelas arahnya. Pengabadian
nama yang dilakukan oleh generasi masa lalu akan memberikan sebuah inspirasi
bahwa sejak dahulu kala benih-benih
peradaban manusia telah tumbuh dan berkembang. Kisah kehidupan seorang
pemberani Timo Daeng Mamanjeng sebagai salah satu contoh yang dapat mengungkap
sisi derajat keberadaan peradaban umat
manusia pada masa lalu, sekaligus dapat menjadi cikal bakal untuk mengembangkannya
pada masa sekarang ini.
Di tanah air
kecintaan kita Indonesia ini, kalau mau secara jujur mencari sosok manusia
pejuang kemanusian seperti sosok Timo Daeng Mamanjeng, kiranya tidaklah terasa sulit bilamana ada yang
menelusurinya dari ujung barat sampai ke
ujung timur, pada seluruh komunitas kehidupan manusia sejak tanah tumpah darah
ini dihuni manusia. Diberbagai komunitas kehidupan manusia mungkin saja bakal
ditemukan pejuang-pejuang yang tidak sempat diabadikan namanya sebagai perjuang
bangsa ini. Lalu pertanyaannya kemudian
adalah sudah sempurnakah keadilan yang diperlakukan terhadap siapa saja yang
berjasa ditanah air ini ? Masih adakah sosok pejuang yang tidak dihargai perjuangannya
hanya karena kurang informasi atau data terhadapnya disebabkan informannya
sudah tiada? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanayaan yang harus dijawab
oleh kita semua, serta tidak berakahir sampai disitu saja, tetapi terus dan
terus mencari data-data yang akurat agar dapat mendapat simpulan interpretasi yang benar dan tepat. Hal
tersebut, sebagai pekerjaan rumah yang tidak
boleh ditunda lagi, karena generasi sudah menunggu hasilnya.