Sabtu, 31 Januari 2015

Guthe Institut Jakarta dan Eksistensi Pembelajaran di Indonesia


Guthe institut jakarta dan eksistensi pembelajaran bahasa Jerman
         di Indonesia
Oleh   :  Abd. Rauf
085241510465
                Pusat kebudayaan Jerman yang berada di Indonesia sangat terkenal dengan nama Guthe Institut, yang salah satunya berada di Jakarta. Pengembangan kebudayaan jerman  secara keseluruhan  di fasilitasi oleh insitusi tersebut.  Institusi yang bernama Guthe institute Jakarta ini telah menyelenggarakan berbagai kgiatan  penting, khususnya yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa jerman serta pengembangan kebudayaan jerman di Indonesia.
 Guthe Institut dalam kapasitasnya sebagai pusat kebudayaan Jerman itu terbukti telah melakukan berbagai kegiatan baik kgiatan pembelajaran maupun kegiatan  pelatihan-pelatihan.  Hal itu tentu saja sangat bermanfaat baik terhadap Negara Jerman maupun Negara Indonesia sendiri. Paling tidak Negara Indonesia dalam hal ini orang Indonesia dapat lebih mengenal budaya Negara Jerman lewat pembelajaran bahasa Jerman tersebut. Sedangkan Negara jerman mendapatkan manfaat dengan adanya bantuan dalam mengembangkan budaya negaranya lewat pembelajaran bahasa jerman itu pula.
Oleh karena itu, peranserta Guthe Institut, oleh guru bahasa jerman di Indonesia, masih sangat dinantikan realisasinya secara menyeluruh. Guru bahasa jerman  mengharapkan perhatiannya bukan saja berada disekitar wilayah kota, akan tetapi dapat menjangkau iseluruh wilayah pelosok desa dimana saja ada siswa belajar bahasa  Jerman haruslah mendapatkan prioritas yang sama. Dan pelayanan yang sama dari Guthe Institut Jakarta.
Perlu diketahui dengan pasti terutama pihak-pihak pengelola pusat kebudayaan Jerman yang ada di Jakarta, bahwa sudah ada beberapa guru bahasa jerman di Indonesia beralih profesi karena merasa tidak mendapatkan perhatian dari Guthe Institut sebagai pusak kebudayaan Jerman di Indonesia. Sebagai contoh, penulis adalah guru bahasa jerman yang diangkat sejak maret tahun 1992., praktis kurang lebih 23 tahun mengajar bahasa jerman pada MAN I Kendari Sulawesi Tenggara. Namun tidak pernah sekalipun dipanggil untuk mengikuti pelatihan.dan semacamnya sampai sekarang ini.
Sekalipun kurikulum 2013 telah memberi peluang berkembangnya bahasa Jerman di Indonesia dengan   menjadikan bahasa Jerman sebagai salah satu mata pelajaran wajib bagi kelas X program peminatan bahasa dan mata pelajaran alternative bagi program lintas minat di kelas program IPA maupun IPS dan juga untuk SMK. Namun realitasnya masih jauh dari harapan disebabkan adanya persepsi terhadap kurikulum tersebut yang masih sangat bervariasi baik  dari pihak pimpinan institusi atau kepala-kepala sekolah maupun guru-guru bahasa Jerman itu sendiri.
Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa salah satu masalah yang berhubungan dengan eksistensi pembelajaran bahasa Jerman di Indonesia yakni persepsi pimpinan Institusi dalam hal ini kepala-kepala sekolah kenyataannya banyak yang kurang memahami keberadaan bahasa Jerman di Indonesia. Buktinya ada guru bahasa Jerman yang tidak menerima tunjangan sertifikasi karena tidak cukup jam mengajarnya, pada hal sekolahnya mmpunyai jumlah rombongan belajar yang banyak. Artinya, bahwa seandainya kepala sekolahnya mengerti keberadaan bahasa jerman sebagai bahasa Asing yang sangat penting dan telah dijadikan bahasa komunikasi oleh beberapa Negara maju di Eropa. Maka mungkin saja guru-guru bahasa Jerman di Indonesia khususnya di Kendari Sulawesi tenggara masih dapat terselamatkan sertifikasinya.
Untuk itu, guthe Intitut Jakarta diharapkan pro aktif untuk menyelamatkan guru-guru bahasa Jerman di daerah. Masalah utama yang mereka hadapi adalah  tentang pemenuhan Jam Mengajar yang tidak cukup 24 jam tata muka perminggu. Hal ini berimplikasi terhadap terjadinya peralihan profesi. Guru-guru bahasa Jerman dapat saja sertifikasi ulang pada bidang studi selain bahasa Jerman. Dengan perkataan lain bahwa guru-guru bahasa Jerman memilih bidang studi lain dan meninggalkan bidang studi bahasa Jerman karena tidak dibayarkan sertifikasinya pada bidang studi bahasa Jerman itu. Hal ini pula memberi isyarat terputusnya kontribusi guru-guru bahasa jerman  terhadap pengembangan kebudayaan Jerman di Indonesia. Jikalau hal tersebut terjadi, maka satu-satu yang dapat dianggap sebagai dewa penolong hanyalah Guthe Institut Jakarta. Oleh karena itulah, Guthe Institut sebagai lembaga kebudayaan jerman harus  segera mungkin untuk menemukan solusi terbaik terhadap masalah ini. Lembaga tersebut punya kewenangan semisal memberikan studi lanjutan (strata dua) dalam bentuk beasiswa terhadap  guru-guru bahasa Jerman pada perguruan tinggi yang dekat , seperti di universitas negeri Makassar atau UNEM yang telah membuka Program Strata Dua untuk bahasa Jerman.
Menurut hemat penulis, untuk menghindari terjadinya kesenjangan atau miskomunikasi antara  Guthe Institut Jakarta sebagai pusak kebudayaan Jerman di Indonesia dengan guru-guru bahasa Jerman sebagai tenaga pengajar bahasa Jerman di lapangan, maka darri pihak Guthe Intitut harus segera mendata seluruh guru bahasa Jerman tanpa terkecuali, baik guru bahasa Jerman yang masih aktif maupun yang sudah menjadi mantan guru bahasa Jerman. Dengan demikian dapat diketahui data ril tentang eksistensi guru bahasa Jerman di Indonesia, yakni berapa present sarjana bahasa Jerman yang masih memiliki komitmen dan setia mengajarkan bahasa Jerman, dan berapa present sarjana bahasa Jerman yang sudah hijrah dari kesarjanaan awalnya.
Mencermati keberadaan bahasa Jerman di Indonesia yang pada daerah daerah tertentu tidak mendapatkan respon positif seperti di Sulawesi Tenggara ini,maka pihak Guthe Institut paling tidak, harus menemukan jurus ampuh yang dapat mendeteksi serta mengevaluasi efektifitas dan fungsi pembelajaran bahasa Jerman dalam pengembangan kebudayaan Jerman di Indonesia. Persoalannya sangat rumit, jikalau guru-guru bahasa Jerman di Indonesia itu dibiarkan menghadapi dan menyelesaikan sendiri masalahnya. Tentunya banyak berpikir singkat dan memilih jalan pintas dengan pindah jurusan. Mungkin saja ada diantara mereka yang memilih studi ulang kesarjanaan lain, dan ada pula yang langsung pindah bila merasa memilki komptensi pada jurusan itu. Kekhawatiran itu sesungguh di Sulawesi Tenggara sudah terbukti, yakni ada sarjana bahasa Jerman ( guru) pindah ke jurusan kerawitan di SMK, ada yang pindah ke jurusan bahasa Inggris di SMU , ada yang pindah ke bahasa Indonesia di MAN, dan seterusnya.
Guru bahasa Jerman di Sulawesi Tenggara khususnya terbilang sangat unik. Masing-masing bekerja tanpa membentuk sebuah forum semisal MGP, dan sebagainya. Tak ubahnya mereka seperti ayam kehilangan induk. Mereka berpencar hanya untuk menyelamatkan dirinya masing-masing. Harapannya tentu  dari pihak diknas, tetapi dari pihak dinas tidak pernah ada informasi tentang peningkatan kualitas pembelajaran bahasa Jerman, apatah lagi mengimformasikan tentang pelatihan bahasa jerman, kata itu tidak pernah terdengar ditelinga guru bahasa Jerman di Sulawesi Tenggara. Terlebih lagi pada guru bahasa Jerman yang dipekerjakan dilingkungan Departemen Agama., seperti penulis.Yang dipekerjakan pada MAN I Kendari jalan pasaeno no. 3 kelurahan Bende kota Kendari, letaknyab berada di wilayah kota. Akan tetapi rasanya seperti mengajar di daerah terpencil, terputus informasi  sama sekali padahal gaji itu  tetap dibayarkan di diknaas.
Diakhir tulisan ini, penulis mengharapkan adanya perhatian  dari pihak Guthe Intitut Jakarta untuk  menfasilitasi kami dalam rangka meningkatkan pembelajaran bahasa Jerman di Indonesia sekaligus menjadi andil untuk mengembangkan kebudayaan Jerman di Indonesia. Justru itu kegiatan pelatihan, penataran, dan pendidikan lanjutan (s2) sangat kami dambakan. Dan lebih khusus penulis memohon kiranya dapat dipasilitasi dalam bentuk beasiswa strata dua (S2) di Universitas Negeri Makassar.  Danke…                                   
                                                                                    Vielen Dank…