Guthe institut jakarta dan eksistensi
pembelajaran bahasa Jerman
di Indonesia
Oleh :
Abd. Rauf
085241510465
Pusat
kebudayaan Jerman yang berada di Indonesia sangat terkenal dengan nama Guthe
Institut, yang salah satunya berada di Jakarta. Pengembangan kebudayaan
jerman secara keseluruhan di fasilitasi oleh insitusi tersebut. Institusi yang bernama Guthe institute Jakarta
ini telah menyelenggarakan berbagai kgiatan
penting, khususnya yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa jerman
serta pengembangan kebudayaan jerman di Indonesia.
Guthe Institut dalam kapasitasnya sebagai pusat
kebudayaan Jerman itu terbukti telah melakukan berbagai kegiatan baik kgiatan
pembelajaran maupun kegiatan pelatihan-pelatihan. Hal itu tentu saja sangat bermanfaat baik
terhadap Negara Jerman maupun Negara Indonesia sendiri. Paling tidak Negara
Indonesia dalam hal ini orang Indonesia dapat lebih mengenal budaya Negara
Jerman lewat pembelajaran bahasa Jerman tersebut. Sedangkan Negara jerman
mendapatkan manfaat dengan adanya bantuan dalam mengembangkan budaya negaranya
lewat pembelajaran bahasa jerman itu pula.
Oleh karena
itu, peranserta Guthe Institut, oleh guru bahasa jerman di Indonesia, masih
sangat dinantikan realisasinya secara menyeluruh. Guru bahasa jerman mengharapkan perhatiannya bukan saja berada
disekitar wilayah kota, akan tetapi dapat menjangkau iseluruh wilayah pelosok
desa dimana saja ada siswa belajar bahasa
Jerman haruslah mendapatkan prioritas yang sama. Dan pelayanan yang sama
dari Guthe Institut Jakarta.
Perlu diketahui
dengan pasti terutama pihak-pihak pengelola pusat kebudayaan Jerman yang ada di
Jakarta, bahwa sudah ada beberapa guru bahasa jerman di Indonesia beralih
profesi karena merasa tidak mendapatkan perhatian dari Guthe Institut sebagai
pusak kebudayaan Jerman di Indonesia. Sebagai contoh, penulis adalah guru
bahasa jerman yang diangkat sejak maret tahun 1992., praktis kurang lebih 23
tahun mengajar bahasa jerman pada MAN I Kendari Sulawesi Tenggara. Namun tidak
pernah sekalipun dipanggil untuk mengikuti pelatihan.dan semacamnya sampai
sekarang ini.
Sekalipun
kurikulum 2013 telah memberi peluang berkembangnya bahasa Jerman di Indonesia
dengan menjadikan bahasa Jerman sebagai salah satu
mata pelajaran wajib bagi kelas X program peminatan bahasa dan mata pelajaran
alternative bagi program lintas minat di kelas program IPA maupun IPS dan juga
untuk SMK. Namun realitasnya masih jauh dari harapan disebabkan adanya persepsi
terhadap kurikulum tersebut yang masih sangat bervariasi baik dari pihak pimpinan institusi atau
kepala-kepala sekolah maupun guru-guru bahasa Jerman itu sendiri.
Dalam konteks
ini dapat dikatakan bahwa salah satu masalah yang berhubungan dengan eksistensi
pembelajaran bahasa Jerman di Indonesia yakni persepsi pimpinan Institusi dalam
hal ini kepala-kepala sekolah kenyataannya banyak yang kurang memahami
keberadaan bahasa Jerman di Indonesia. Buktinya ada guru bahasa Jerman yang
tidak menerima tunjangan sertifikasi karena tidak cukup jam mengajarnya, pada
hal sekolahnya mmpunyai jumlah rombongan belajar yang banyak. Artinya, bahwa
seandainya kepala sekolahnya mengerti keberadaan bahasa jerman sebagai bahasa
Asing yang sangat penting dan telah dijadikan bahasa komunikasi oleh beberapa
Negara maju di Eropa. Maka mungkin saja guru-guru bahasa Jerman di Indonesia
khususnya di Kendari Sulawesi tenggara masih dapat terselamatkan
sertifikasinya.
Untuk itu,
guthe Intitut Jakarta diharapkan pro aktif untuk menyelamatkan guru-guru bahasa
Jerman di daerah. Masalah utama yang mereka hadapi adalah tentang pemenuhan Jam Mengajar yang tidak
cukup 24 jam tata muka perminggu. Hal ini berimplikasi terhadap terjadinya
peralihan profesi. Guru-guru bahasa Jerman dapat saja sertifikasi ulang pada
bidang studi selain bahasa Jerman. Dengan perkataan lain bahwa guru-guru bahasa
Jerman memilih bidang studi lain dan meninggalkan bidang studi bahasa Jerman
karena tidak dibayarkan sertifikasinya pada bidang studi bahasa Jerman itu. Hal
ini pula memberi isyarat terputusnya kontribusi guru-guru bahasa jerman terhadap pengembangan kebudayaan Jerman di
Indonesia. Jikalau hal tersebut terjadi, maka satu-satu yang dapat dianggap
sebagai dewa penolong hanyalah Guthe Institut Jakarta. Oleh karena itulah, Guthe
Institut sebagai lembaga kebudayaan jerman harus segera mungkin untuk menemukan solusi terbaik
terhadap masalah ini. Lembaga tersebut punya kewenangan semisal memberikan
studi lanjutan (strata dua) dalam bentuk beasiswa terhadap guru-guru bahasa Jerman pada perguruan tinggi
yang dekat , seperti di universitas negeri Makassar atau UNEM yang telah
membuka Program Strata Dua untuk bahasa Jerman.
Menurut hemat
penulis, untuk menghindari terjadinya kesenjangan atau miskomunikasi
antara Guthe Institut Jakarta sebagai
pusak kebudayaan Jerman di Indonesia dengan guru-guru bahasa Jerman sebagai
tenaga pengajar bahasa Jerman di lapangan, maka darri pihak Guthe Intitut harus
segera mendata seluruh guru bahasa Jerman tanpa terkecuali, baik guru bahasa
Jerman yang masih aktif maupun yang sudah menjadi mantan guru bahasa Jerman.
Dengan demikian dapat diketahui data ril tentang eksistensi guru bahasa Jerman
di Indonesia, yakni berapa present sarjana bahasa Jerman yang masih memiliki
komitmen dan setia mengajarkan bahasa Jerman, dan berapa present sarjana bahasa
Jerman yang sudah hijrah dari kesarjanaan awalnya.
Mencermati
keberadaan bahasa Jerman di Indonesia yang pada daerah daerah tertentu tidak
mendapatkan respon positif seperti di Sulawesi Tenggara ini,maka pihak Guthe
Institut paling tidak, harus menemukan jurus ampuh yang dapat mendeteksi serta
mengevaluasi efektifitas dan fungsi pembelajaran bahasa Jerman dalam
pengembangan kebudayaan Jerman di Indonesia. Persoalannya sangat rumit, jikalau
guru-guru bahasa Jerman di Indonesia itu dibiarkan menghadapi dan menyelesaikan
sendiri masalahnya. Tentunya banyak berpikir singkat dan memilih jalan pintas
dengan pindah jurusan. Mungkin saja ada diantara mereka yang memilih studi
ulang kesarjanaan lain, dan ada pula yang langsung pindah bila merasa memilki
komptensi pada jurusan itu. Kekhawatiran itu sesungguh di Sulawesi Tenggara
sudah terbukti, yakni ada sarjana bahasa Jerman ( guru) pindah ke jurusan
kerawitan di SMK, ada yang pindah ke jurusan bahasa Inggris di SMU , ada yang
pindah ke bahasa Indonesia di MAN, dan seterusnya.
Guru bahasa
Jerman di Sulawesi Tenggara khususnya terbilang sangat unik. Masing-masing
bekerja tanpa membentuk sebuah forum semisal MGP, dan sebagainya. Tak ubahnya
mereka seperti ayam kehilangan induk. Mereka berpencar hanya untuk
menyelamatkan dirinya masing-masing. Harapannya tentu dari pihak diknas, tetapi dari pihak dinas
tidak pernah ada informasi tentang peningkatan kualitas pembelajaran bahasa
Jerman, apatah lagi mengimformasikan tentang pelatihan bahasa jerman, kata itu tidak
pernah terdengar ditelinga guru bahasa Jerman di Sulawesi Tenggara. Terlebih
lagi pada guru bahasa Jerman yang dipekerjakan dilingkungan Departemen Agama.,
seperti penulis.Yang dipekerjakan pada MAN I Kendari jalan pasaeno no. 3
kelurahan Bende kota Kendari, letaknyab berada di wilayah kota. Akan tetapi rasanya
seperti mengajar di daerah terpencil, terputus informasi sama sekali padahal gaji itu tetap dibayarkan di diknaas.
Diakhir tulisan
ini, penulis mengharapkan adanya perhatian
dari pihak Guthe Intitut Jakarta untuk
menfasilitasi kami dalam rangka meningkatkan pembelajaran bahasa Jerman
di Indonesia sekaligus menjadi andil untuk mengembangkan kebudayaan Jerman di
Indonesia. Justru itu kegiatan pelatihan, penataran, dan pendidikan lanjutan
(s2) sangat kami dambakan. Dan lebih khusus penulis memohon kiranya dapat
dipasilitasi dalam bentuk beasiswa strata dua (S2) di Universitas Negeri
Makassar. Danke…
Vielen
Dank…