Selasa, 09 Desember 2014

Kisah : Timo Daeng Mamanjeng Putra Kaloling Sinjai Timur , selaku Sulle Hatang Arung Bulo-Bulo atas Undangan Raja Bone


Kisah :  Timo Daeng Mamanjeng Putra Kaloling Kab. Sinjai Timur, selaku Sulle
               hatang Arung Bulo-Bulo  atas undangan  Raja Bone
                                        Oleh   :  A. Rauf  TM  Pasanre MA
  HP     :  085241510465
 Email  : abdrauf180@yahoo.com
Suasana tanah Kaloling pada sore hari, ketika mataharai sudah mulai melemah, redup pasrah pada rayuan kegelapan, yang menandakan bahwa si maha terang itu sebentar lagi akan terbenan. Cuacapun turut ikutan sekonkol mengubah diri terasa dingin  pada  pori-pori dan kulit insan-insan, makhluk paling sempurna  ciptaan Ilahi.
Kondisi tersebut membuat tanah Kaloling berubah menjadi hening, yang tadinya dikenal sebagai daerah panas yang dihiasi dengan bebatuan-bebatuan yang berwarna hitam serta mengkomplitkan karakteristik masyarakatnya pada sifat temperamentalnya.
Pada suasana keheningan itu, duduklah Timo daeng Mamanjeng di ruang depan gubuk yang beratapkan rumbia. Seketika itu pula, berdengin panjang telinga kanannya. Hal itu diyakini bahwa, itu adalah isyarat atau tanda akan ada informasi atau khabar berita baik pada dirinya (menurut kepercayaan orang-orang dahulu).
Tak lama kemudian, dari kejauhan terlihat pemuda separuh baya mengenakan celana pendek tanpa alas kaki dan mengikatkan salung dan selipan senjata tajam  dipinggangnya mengarah ke gubuk Timo Daeng Mamanjeng itu. Pemuda itu berjalan pada pematang kecil, diantara pepohonan-pepohonan dengan lambaian dedaunan tiupan angin seolah-olah bersorak riang gembira dan memberi semangat  hendaknya cepat menemui Timo Daeng Mamanjeng di kediamannya.
Pada waktu timo Daeng Mamanjeng mengintipnya melalui celah-celah dinding gubuk yang terbuat dari bambu itu, tepat pula pemuda itu berdiri di depan pintu gubuk. Langsung pemuda itu memberi salam, kemudian memanggil nama puang timo Daeng Mamnjeng (puang Timo, engkaki  di bolae puang ?  dalam bahasa bugis) artinya apakah pak timo Daeng Mamanjeng ada dirumah. Puang Timo Daeng Mamanjeng menjawabnya : Ia saya ada. Lalu Timo Daeng Mamanjeng mempersilahkan pemuda itu masuk dan duduk di ruang tamu.
Timo Daeng Mamanjeng memasang bajunya yang lengan panjang, memasang kopia dan mengambil kaleng segi empat yang berisi tembakau, kapur dan daun sirih,serta tongkaknya, lalu menemui pemuda itu. Puang timo Daeng Mamanjeng bertanya dengan bahsa aslinya (bugis) : Naulle engka kareba maloppo palattukki anakku ri gubukke? artinya adakah berita penting yang akan disampaikan? Jawab pemuda itu : Toneng puang,  Aleku paletturangngi makkeda naparelluangngi Arung Bulo-Bulo, artinya hamba datang disini dengan membawa khabar bahwa Arung Bulo-Bula membutuhkan orang berani seperti puang Timo Daeng Mamanjeng.
Selanjutnya, pemuda iu bercerita panjang lebar tentang situasi  yang terjadi pada Arung Bulo-Bula. Ceritanya demikian: Arung Bulo-Bulo diundang oleh  Arung Bone untuk membantu mengatasi kelompok  yang menamkan dirinya pemberani yang ada di daerah Peneki. Undangan untuk membantu Arung Bone itu tidak dapat disanggupi oleh Arung Bulo-Bulo. Oleh karena itu, maka dirancankanlah sebuah acara sejenis pesta dengan istilah “abbahaang”(pesta rakyat sejenis kegiatan sayembara) yang diselenggarakan  selama berminggu-minggu, bahkan bulanan untuk mendapat kesatria handal atau pemberani yang akan mengawakili Arung Bulo-Bolu dalam memenuhi undangan tersebut. Konsekwensinya  yakni Arung Bulo-Bulo siap melepaskan seluruh identitas kebesaran Arung kepada siapa saja yang sangguh untuk menyandangnya. Pakaian atau jas kehormatan  Arung akan dipakaikan kepada pemberani dari golongan manapun, sebagai penggnti Arung Bulo-Bulo ketika  itu.
 Informasi itu disebarkan kepada seluruh Masyarakat yang ada di wilayah  kekuasaan Arung Bulo-Bulo tanpa terkecuali. Dengan lain perkataan bahwa seluruh Masyarakat dari berbagai lapisan yang ada di wilayah kekuasaan  Arung Bulo-Bulo mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkan sayembara itu. Namun demikian, sangatlah disayangkan, minggu demi minggu telah berlalu, bulan demi bulanpun telah usai, tetapi tak seorangpun yang datang untuk mendaftarkan dirinya.
 Rasa kecewa yang tak dapat disembunyi oleh Arung Bulo-Bulo, begitu sangat jelas terlihat diwajahnya.Namun pada akhirnya, dengan tekad dan semangatnya menentukan sendiri pilihannya dengan menawarkan kepada Timo Daeng Mamnjeng. Seorang putra Kaloling yang memang memiliki jejak keberanian  yang sudah tidak diragukan  lagi oleh Arung Bulo-Bulo bahkan  oleh masyarakat Bulo-Bulo pada saat itu. Arung Bulo-Bulo sangat yakin dengan alternatif pilihannya itu. Harapan keberhasilan dalam penentuan pilihannya  yakin betul sempurna. Arung  kenal benar sepak terjang  kesatria putra Kaloling, saudara Timo Daeng Mamanjeng.
Sungguhpun demikian, Timo Daeng Mamanjeng tidak serta merta menerima tawaran yang disampaikan oleh pemuda itu. Akan tetapi Timo Daeng Mamanjeng memohon kesempatan untuk memikirkan secara matang. Kemudian, sebelum pemuda itu meninggalkan rumah kediaman Timo Daeng Mamanjeng, maka berpesanlah Timo Daeng Mamnjeng kepada Pemuda itu. Ucapannya: dengan sembah sujudku,  sampaikan segera kepada Arung Bulo-Bulo bahwa bersabarlah menanti petunjuk yang memberkahi kepastian itu.  Hambah kini (Timo Daeng Mamanjeng) siap bersegera dengan do’anya.
Setelah mempertimbangkan selama satu hari satu malam, maka Timo Daeng Mamanjeng menyanggupi permintaan Arung Bulo-Bulo dengan mengajukan persyaratan. Syaratnya sebagai berikut: Timo Daeng Mamanjeng siap sedia untuk mewakili Arung Bulo-Bulo, tetapi dirinya  harus menentukan atau memilih sendiri siapa-siapa yang akan mendapinginya, tanpa campur tangan Arung di dalamnya. Kalau  sekiranya syarat itu dipenuhi Arung, maka Timo Daeng Mamanjeng,  kesatria bugis dari tanah Kaloling berani untuk diterjuangkan ke medan sasaran sebagai pengganti  Arung Bulo-Bulo sekaligus wakil kehormatan dari wilayah  kekuasaan kerajaan atau Arung dari Tellullimpoe ( Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti).
Mengetahui persyaratan yang dijukan oleh Timo Daeng Mamanjeng itu, Arung Bulo-Bulo tanpa berpikir panjang langsung saja menyetujui  syarat yang diajukan oleh Timo Daeng Mamanjeng. Oleh karena itu, pada malam harinya, Timo Daeng Mamanjeng mengundang seluruh pendekar–pendekar kampung untuk mempersatukan persepsi mereka dalam mengembang tugas perwakilan  sebagai pengganti pelaksana tugas dan  tanggung jawab Arung Bulo-Bulo yang mendapat  undangan kehormatan oleh Arung Bone untuk menuntaskan masalah besar  yang terjadi di Peneki.
Untuk itu, diadakan  segera pertemuan singkat oleh Timo Daeng Mamanjeng di kediamannya. Pada malam pertemuan itu, sempat dihadiri oleh enam orang anggota  ponggawa kampung dengan berbagai keahlian, ditambah dengan beberapa orang pembantu yang akan bertugas untuk membawa persenjataan dan perbekalan dan sebagainya menuju medan juang yang telah direncanakan.
Hari-hari telah berlalu, persiapan telah matang, tiba pulalah hari keberuntungan maka  sebelum ayam berkokok berangkatlah pasukan Timo Daeng Mamanjeng menuju peneki. Sebuah Kampung yang jauh dari Bulo-Bulo. Kampung itu memiliki jarak tempuh kurang lebih satu hari satu malam. Oleh karena itu, rombongan Timo Daeng Mamanjeng memperkirakan akan tiba tepat lewat tengah malam di tempat tujuan.
Walhasil, perkiraan jarak tempuh yang diprediksi oleh rombongan Timo Daeng Mamanjeng tidak terlalu jauh meleset. Tepat pukul 02.30 tibalah rombongan Timo Daeng Mamanjeng di medan laga. Dengan berbekal peta sederhana yang dibuat sendiri oleh pembantu Timo Daeng Mamanjeng yang memiliki otoritas keahlian tentang itu, maka  diataurlah segala sesuatunya berdasarkan petunjuk peta tersebut.
Selanjutnya , Timo Daeng Mamanjeng menyusun taktik dan strategi yang sangat sedehana. Strategi manipulasinya hanya menebang kayu kecil dan menancapkan tongkaknya di tanah  secara berpindah-pindah dan diikuti dengan tapak kaki serta semburan ludah dari makan sirih. Hal itu dilakukan disetiap sudut pada wilayah tersebut. Kemudian Rombongan Timo Daeng Mamanjeng mengamankan pasukannya dengan berlindung di balik gunung. Selanjutnya mengintai kedua kubu pasukan besar yang selama ini selalu berperang.
Taktik dan tipu daya yang dilakukan pasukan Timo Daeng Mamanjeng itu dimaksudkan supaya lawan mengira rombongan yang datang adalah rombongan yang sangat  besar, sehingga dapat melemahkan atau menurunkan nyali lawan-lawannya.  Sungguh ampuh benar, ide yang dipikirkan Oleh Timo Daeng Mamanjeng dalam menyusun rencana itu sangat  tepat sekali. Buktinya, pasukan yang menamankan dirinya pasukan pemberani, pada kedua kubu itu mundur jauh dari garis batas wilayah pertempuran itu.
Namun demikian, kontak pisik dari kedua kubu itu tetap tak terhindarkan, dan mencapai puncaknya  menjelang subuh dini hari. Sementara pasukan  dari kubu Timo Daeng Mamanjeng sepanjang pertempuran itu berlangsung, hanya mengintai dan mengawasi  perseteruan itu dari balik gunung. Nanti menjelang subuh dini hari, ketika pasukan dari kedua kubu tersebut sudah banyak berguguran serta suara senjata tinggal sesekali berbunyi, barulah pasukan Timo Daeng Mamanjeng maju berhadapan langsung dengan pasukan yang masih tersisa pada pertempuran itu. Dengan tak terduga, pimpinan pasukan yang berambut panjang hampir sampai  ke tanah itu, tepat dihadapan kesatria  Timo Daeng Mamanjeng. Dalam pada itu, kecerdikan,kelihaian, dan kesempurnaan ilmu silat yang dimiliki oleh Timo Daeng Mamanjeng turut menentukan kemenangannya. Akhirnya, rambut panjang si pimpinan pasukan itu  terpaksa pasrah menjadi pengganti tali pengikat leher pemiliknya di pohon kayu yang masih berdiri  kokoh dihadapannya. Seketika itu, maka seluruh pasukannya  menyerah tanpa syarat serta membuang semua persenjataannya, lalu mengangkat kedua tangannya sebagai tanda kekalahannya itu.
Selanjutnya pasukan Timo Daeng Mamanjeng mengambil pengikat  dan bambu yang telah dilubangi ujungnnya lalu dikalungkan dileher pimpinan si rambut panjang yang selama ini  dikenal sebagai pemberontak yang tiada tandingannya. Pada  saat itu tiba hari sialnya dan tamatlah riwayat kesatriannya atas taklukan pasukan Timo Daeng Mamanjeng.
Pasukan Timo Daeng Mamanjeng  mengikat satu persatu anggota taklukannya lalu mengantarnya  untuk menghadap pada Arung Bone sebagai bukti kemenangan yang diperoleh pasukan Timo Daeng Mamanjeng. Setibanya di kediaman Arung Bone, diikatlah di bawah kolom rumah tahanan tersebut, lalu Timo Daeng Mamanjeng langsung bergegas untuk melapor kepada Arung Bone bahwa tugas yang diembang telah selesai dan selanjutnya Timo Daeng Mamanjeng bersama rombongannya akan memohon pamit untuk kembali ke kampung halamannya di tanah  Kaloling, Bulo-Bulo, tellulimpoe.
Namun, sebelum Timo Daeng Mamanjeng tiba dihadapan Arung Bone, dari balik jendela terlihat Timo Daeng Mamanjeng oleh Arung Bone. Dan berkatalah Arung Bone, telah datang  Arung Bulu-Bulo dengan membawa kemenangan.sambutlah kedatangnya dengan memberi penghormatan. Semua pengawal Arung memberi penghormatan kepadanya. Lalu memberi hormat pula Timo Daeng Mamanjeng kepada Arung Bone sekaligus melaporkan tugasnya. Berkatalah Arung Bone, bahwa saya tidak dapat membalas hasil perjuanganmu Arung Bulo-Bulo, tidak bisa pula saya membayarnya dengan harta ataukah uang. Hanya saya mampu memberikan hadiah sebagai bekal dalam perjalananmu berupa 12 orang tahanan yang bisa kamu belanjakan di perjalanan.
Arung Bulo-Bulo dalam hal ini Timo Daeng Mamanjeng menerima ke 12 orang budak  tersebut, lalu memohon pamit untuk melanjutkan perjalanan pulang ke tanah Kaloling kampung halamannya. Selama perjalanannya  dari tanah Bone ke tanah Kaloling tujuh kali mengadakan persinggahan. Setiap rumah tempat persinggahan dibayar  pelayanannya satu orang  budak. Perlu pula diketahui bahwa jarak tempuh dengan jalan kaki pada perjalanan  dari wilayah kekuasaan Arung Bone ke wilayah Arung Bulo-Bulo sangatlah jauh dan melelahkan. Oleh karena itu, pada perjalan tersebut terhitung enam kali persinggahan berarti harus dibayar dengan enam orang budak. Kemudian rombongan Timo Daeng Mamanjeng singgah lagi di rumah kediaman Arung Bulo-Bulo di Sinjai, juga harus dibayar satu orang budak. Dengan demikian praktis tinggal  lima orang budak yang dibawa Timo Daeng Mamanjeng sampai ke tanah Kaloling. Budak-budak itulah yang disebarkan ke berbagai tempat di tanah Kaloling, diantaranya ada yang ditempatkan di  To Bunne, di to Cabbeng, di to Haddo, dan sebagainya,.
 Pada awalnya, para budak-budak tahanan yang dihadiakan Arung Bulo-Bulo yang dipangkuh oleh Timo Daeng Mamanjeng dalam melaksanakan aktifitas kesehariannya masih  kelihatan dengan jelas  statusnya  itu. Akan tetapi setelah  lama kelamaan bermukin di daerah itu, akhirnya banyak yang kawin dengan masyarakat biasa. Lambat laum mereka membaur dengan masyarakat  biasa yang ada di Kaloling. Bahkan diantara keturunan mereka itu sudah  ada yang kawin dengan masyarakat  yang tergolong keturunan bangsawan. Maka dari  itu sangatlah sulit untuk diketahui riwayat keturunannya.
            Oleh karena itu, sudah saatlah  kita harus  mempunyai niat(nawaetuh) yang tulus serta bersikap arif dan bijaksana untuk mengungkap jejak kebenaran yang sesungguhnya.  Nuansa berfikir dan dasar logikanya musti diarahkan pada suatu realita sejarah yang perlu kiranya diketahui secara pasti oleh seluruh lapisan masyarakat, bahwa orang-orang tahanan yang diberikan Arung Bulo-Bulo (Timo Daeng Mamanjeng) oleh Arung Bone pada waktu memenangkan peperangan itu adalah semuanya  laki-laki dan tak satupun perempuan. Hal ini dapat membuat masalah menjadi terang benderang pada kelompok masyarakat yang menganut garis keturunan Bapak. Artinya, bahwa dalam konteks ini sangat keliru kalau langsung mengubah status  delegasi garis keturunan itu tanpa ada alasan yang jelas pada kelompok  masyarakat tersebut.
            Sesungguhnya tidaklah diharamkan bahkan sah-sah saja kalau ada dari keturunan mereka yang memiliki kompetensi menjadi pemimpin di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Akan tetapi janganlah mengabaikan bibit-bibit unggul yang tidak memiliki cacat silsilah dalam  kisah kehidupannya, terutama dari sisi garis keturunan serta memiliki kompetensi yang sama bahkan melebihi kompetensi yang dimiliki oleh  mereka.
            Sungguhpun syarat untuk memilih imam memang bukan satu-satunya unsurnya adalah keturunan, tetapi tidak musti  harus mengaburkan  semua teori kebenaran, bahwa  kalau tidak  bisa mengambil sebagian janganlah meninggalkan semuanya. Semangat juang dan kharismatik  sosok kpemimpin Timo Daeng Mamanjeng pada zamannya harus tetap diabadikan. Penghargaan yang diharapkan terhadapnya tak cukup hanya  tuturan dalam bentuk lisan semata, tetapi memperjelas kisah dan garis keturunannya, itu mungkin bagian terpenitng  dalam realita menghargai jasa-jasanya. Kalaulah ungkapan itu benar, yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Maka padanan maknanya sekolokasi dengan makna bahwa  komunitas masyarakat yang besar itu  ditentukan oleh jiwa penghargaannya terhadap  pendahulunya.
            Timo Daeng Mamanjeng sebagai sosok pendahulu masyarakat tanah Kaloling, dikenal pemberani, jujur, bersahabat, konsekwen dengan prinsipnya, diwujudkan dengan senboyang, yakni: bukti menyatakan dan satu kata dengan perbuatan. Kalau ditelusuri secara saksama pola kepemimpinan Sosok Timo Daeng Mamanjeng di tanah Kaloling, sebenarnya tidaklah berjuang sendirian. Akan tetapi memiliki pendamping-pendamping yang sangat setia dan handal. Pendamping-pendamping tersebut diberikan tugas utama untuk menyelesaikan semua persoalan-persoalan kecil secara internal yang terjadi di kampung itu. Sedangkan persoalan-persoalan besar dan persoalan-persoalan yang bersifat eksternal ditangani langsung oleh Timo Daeng Mamanjeng.
 Salah satu pendamping Timo Daeng Mamanjeng yang namanya sangat popular adalah Puang Lamalo. Puang Lamalo ini diabadikan namanya pada sebuah Kampung  yang diberi nama Kampung Lamalo. Kampung tersebut berdampingan dengan Kampung Tomanjeng yang berasal dari nama Timo Daeng Mamanjeng.
Pengabadian nama-nama tokoh masyarakat pada sebuah kampung, sesungguhnya bukanlah lahir begitu saja tanpa  mengandung makna  bagi kehidupan manusia. Akan tetapi itu semua menunjukkan bias kecerdasan berpikir orang-orang terdahulu. Ide dan gagasan cemerlang tersebut mengandung makna bahwa fakta sejarah kehidupan manusia adalah bagian yang sangat esensial  sebagai  komfonen penting dan sangat menentukan keberhasilan dalam membangun peradaban  umat manusia di masa yang akan datang.
Disadari atau tidak, fakta  sejarah berupa pengabadian nama seseorang pada sebuah  tempat atau kampung itu merupakan warisan yang  memiliki nilai keemasan yang sangat berharga  bagi generasi berikutnya. Dapat dibayangkan kalau seandainya tidak ada keterangan-keterangan atau bukti-bukti yang dapat dipedomani untuk menata gerak kehidupan ini, pasti semua membingunkan dan tidak jelas arahnya. Pengabadian nama yang dilakukan oleh generasi masa lalu akan memberikan sebuah inspirasi bahwa sejak dahulu kala  benih-benih peradaban manusia telah tumbuh dan berkembang. Kisah kehidupan seorang pemberani Timo Daeng Mamanjeng sebagai salah satu contoh yang dapat mengungkap sisi derajat keberadaan  peradaban umat manusia pada masa lalu, sekaligus dapat menjadi cikal bakal untuk mengembangkannya pada masa sekarang ini.
Di tanah air kecintaan kita Indonesia ini, kalau mau secara jujur mencari sosok manusia pejuang kemanusian seperti sosok Timo Daeng Mamanjeng,  kiranya tidaklah terasa sulit bilamana ada yang menelusurinya dari  ujung barat sampai ke ujung timur, pada seluruh komunitas kehidupan manusia sejak tanah tumpah darah ini dihuni manusia. Diberbagai komunitas kehidupan manusia mungkin saja bakal ditemukan pejuang-pejuang yang tidak sempat diabadikan namanya sebagai perjuang bangsa ini.  Lalu pertanyaannya kemudian adalah sudah sempurnakah keadilan yang diperlakukan terhadap siapa saja yang berjasa ditanah air ini ? Masih adakah sosok pejuang yang tidak dihargai perjuangannya hanya karena kurang informasi atau data terhadapnya disebabkan informannya sudah tiada? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanayaan yang harus dijawab oleh kita semua, serta tidak berakahir sampai disitu saja, tetapi terus dan terus mencari data-data yang akurat agar dapat mendapat simpulan  interpretasi yang benar dan tepat. Hal tersebut, sebagai pekerjaan rumah yang tidak  boleh ditunda lagi, karena generasi sudah menunggu hasilnya.

Kamis, 17 Juli 2014

Selayang pandang Tanah Kaloling Sinjai Timur Kab Sinjai


            Selayang Pandang  Kaloling
            Sinjai Timur Kab. Sinjai
                                    Oleh : A. Rauf TM Psanre MA


 Kaloling adalah sebuah nama  tempat  yang diambil dari tanda lambang atau bendara pejuang tanah Kaloling pada masa lalu. Dimana salah satu gambar yang ada pada bendera tersebut yakni gambar naga yang bentuknya menyerupai ekor panjang dan  dipahami oleh mereka bahwa salah satu sifat ekor itu selalu ‘loli atau mappalolli’ artinya berdiri melenkung ketika berlari. Hal inilah yang menginisiasi  mereka sehingga bersepakat menentukan nama tersebut dengan  nama Kaloling, kemudian  selanjutnya menjadikannya nama Kampung yaitu Kampung Kaloling.
  Secara geografi, kampung Kaloling atau tanah Kaloling itu termasuk bagian wilayah perkampungan yang terletak diwilayah bagian timur Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, Indonesia. Tepatnya berada sebelumnya pada wilayah atau bagian  kawasan desa saukang dan termasuk wilayah kekuasaan Bulo-Bulo. Tellunlimpoe pada  zaman dahulu.
Selanjutnta, kalaulah kita menelusuri  secara detail tentang asal muasal terbentuknya desa Kaloling ini, maka  akan diketahui  dengan pasti bahwa tanah Kaloling pada mulanya hanya merupakan sebuah wilayah pemukiman yang disebut dengan” kampung”, dengan struktur pemerintahannya hanya disebut ‘Ade.” Pemerintahan dalam kategori Ade ini menjadi panutan masyarakat Kaloling Sinjai timur kabupataen Sinjai. Tata kehidupan seperti demikian tersebut berakhir dan beralih menjadi ‘Arung’ setelah selesainya dibangun Sao Rajae di Bulo-Bulo.
Pembangunan Sao Rajae di Bulo-Bulo menurut sejarahnya adalah diprakarsai dan dibangun oleh  Masyarakat  Kaloling. Hal tersebut merupakan salah satu bukti kedekatan antara Bulo-Bulo dengan Kaloling. Keberadaan Ade Kaloling di wilayah Bulo-Bulo tersebut sekaligus menjadikan Bulo-Bulo semakin disegani dan diperhitungkan oleh semua raja-raja baik dari Sinjai sendiri maupun dari luar Sinjai. Apatah lagi panglima perang Arung atau Raja Bulo-Bulo berasal dari tanah Kaloling, diantaranya adalah panglima perang Puang Timo Daeng Mamajeng dan sebagainya.
Tanah Kaloling Sinjai Timur, ketika itu sesungguhnya masih tergolong kelompok komunitas  suku bugis minoritas di Tanah Sinjai Khususnya Sinjai Timur. Namun tata pemrintahannya sudah diperintah atau dipimpin  oleh seorang yang diberi gelar Arung. Untuk itu, maka model pemerintahannya bisa dipadankan dengan level yang setingkat dengan kecamatan atau kabupaten  pada struktur pemerintahan  sekarang yang dikepalai oleh kepala kecamatan atau kepala daerah.
Setelah  Negara kita  Indonesia tercinta ini merdeka, dan bentuk  negaranya adalah republik, maka terjadi perubahan-perubahan diberbagai aspek kehidupan di seluruh tanah air kita ini tak terkecuali pembagian wilayah, juga perubahan struktur pemerintahan diseluruh Indonesia termasuk di wilayah tanah Kaloling.
            Perubahan struktur pemerintahan itu pula, menyebabkan terjadinya peralihan atau perubahan nama dan wilayah pemerintahan .Gelar Arung yang identik dengan turunan bangsawan bugis, terjadi penyederhanaan istilah menjadi diksi-diksi yang dianggap lebih menasional. Dengan demikian terbentuklah Kepala Kampung, kepala Desa, Kepala Kecamatan.
Desa Kaloling yang terletak di kecamatan sinjai timur kabupaten sinjai ini, dahulunya desa tersebut termasuk bagian kampung yang  wilayahnya berada pada Desa Saukang. Artinya, desa Kaloling tersebut merupakan desa hasil pemekaran dari desa induk yakni desa saukang. Desa Kaloling ini  dimekarkan menjadi sebuah  desa dalam bentuk persiapan atau desa persiapan. Dan perlu pula diketahui bahwa desa tersebut sebelumnya termasuk komunitas masyarakat yang disebut dengan istilah “kampong” yaitu Kampung Kaloling. Kampung  tersebut dipimpin oleh kepala kampung yang merupakan peralihan dari Arung Kaloling. Dalam konteks ini dapat diketahui bahwa desa  Kaloling pada zaman dulu termasuk wilayah yang memiliki kelompok raja-raja kecil yang dinahkodai oleh Arung. Buktinya,yakni adanya istilah  yang biasa disebut orang-orang tua dulu, seperti ada yang disebut Arung Jumati, Arung Semrima, Arung Fandi dan Arung tua ( Arung Matoa). Arung tua tersebut dipangku oleh Ambo Rehe, Setelah meninggal dunia, lalu digantikan oleh Hammade, kemudian dilanjutkan oleh Puang pai daeng Makketti.Kemudian beralih status menjadi lingkungan atau Kampung di pimpin oleh Muhammad Aras. Pada pemerintahan Muhammad Aras, terjadi lagi peralihan status dari Nama Kampung yang dikepalai oleh kepala kampung menjadi sebuah desa persiapan yang di pimpin oleh kepala desa.
Desa Kaloling sekarang sudah menjadi desa defenitif yang membawahi beberapa kepala lingkungan atau dusun, yaitu :  Dusun Kaloling, Dusun Bainang, Dusun tellangnge atau Bonto Sumange, dan Dusun Bilalang. Dusun-dusun tersebut diatas, dulunya hanya dikenal dengan tiga wilayah yaitu wilayah bilalang, wilayah Kaloling utara (diahan dalam bahasa bugis), dan wilayah kaloling selatan ( diattang dalam bahasa bugis).
Desa Kaloling termasuk sebuah desa yang masyarakatnya  bertipe pekerja keras. Hal itu disebabkan karena kondisi alamnya  yang sebagian besar terdiri atas  gunung batu hitam yang tersebar di hampir semua permukaan tanah di daerah tersebut. Dengan perkataan lain bahwa sebagian wilayahnya khususnya daerah bagian  selatan  termasuk wilayah batu bertanah-tanah bukan tanah berbatu.batu. Dengan medan yang bernuansa tropis seperti demikian ini, menyebabkan karakteristik masyarakatnya bertype tempranental.Selain itu, pepohonan yang paling banyak dijumpai di tanah Kaloling adalah pohon lomtarak(rautak). Hal tersebut, dipahami oleh masyarakat Kaloling memiliki nilai historis. Masyarakat Kaloling percaya bahwa semua tanah yang diatasnya tumbuh pohon lontarak (rauttak), maka daerah tersebut  pernah dikunjungi atau dikuasai oleh Sultan Hasanuddin( pahlawan yang dikenal sebagai ayam jantang dari timur oleh kompeni).
Masyarakat Kaloling sejak dulu menjadikan pohon lontarak sebagai  pohon yang dapat memproduksi sumber minuman segar yang  dapat menguatkan badan. Khasiatnya  begitu besar dirasakan, khususnya para  petani. Volume kerja mereka meningkat setelah minum Ballo atau tuak dari lantarak tersebut. Hanya saja, biasa ada yang menyalahgunakan minuman itu, yakni mabuk-mabukan bahkan biasa ada yang baku tikam dan melakukan jallo akibat minuman tersebut..
Tidaklah rasanya berlebihan bila diantara masyarakat Kaloling, ada yang bercerita bahwa dahulu kalau musin kemarau tiba, maka sumur, sungai pada kering, tidak ada air dimana-mana, jangankan untuk dimandi ,untuk diminum saja sangat susah. Maka dalam pada itu masyarakat Kaloling ada yang memilih minum dan mandi dengan menggunakan air Ballo atau tuak saja. Hal ini menunjukkan bahwa pada musin kemarau merupakan puncak produksi Ballo atau tauk di tanah Kaloling. Maka masyarakat Kaloling menjadi berlebihan mengkomsunsi minuman tersebut.
Disamping itu, dalam versi yang berbeda diceritakan  bahwa pada tempo dulu kalau ada orang yang menyebut Kampung Kaloling Sinjai Timur diluar daerah itu atau dirantauan, maka hal yang pertama ditanyakan orang  tiada lain hanya tentang  ballo atau tuak dan passigajaneng atau  membunuhan dengan baku tikam. Jadi orang orang-orang dulu banyak yang beranggapan atau mengidentikkan Kaloling Sinjai timur dengan ballo atau tuak. Ada pula yang mengidentikkannya dengan passigajaneng.
Paradigma orang-orang diluar kampung Kaloling tersebut, mungkin merupakan bias dari setiap kejadian demi kejadian yang sering terjadi di tanah Kaloling. Seperti, pembunuhan Arung secara turun temurun, cerita orang-orang yang tinggal dipinggir Kampung itu, yakni bahwa hampir setiap minggu atau bulan ada orang Kaloling selesai baku tikam dibawa ke rumah sakit. Anehnya lagi, tempat baku tikamnya berbeda-beda; ada di atas pohon lontar, ada dirumah ,ada di masjid, ada disawah, ada dilapangan, dan lain sebagainya.
Perlu kiranya diketahui bahwa, Kaloling sinjai timur yang sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan keadaan Kaloling tempo dulu. Kalau zaman dulu masyarakat tersebut potensi sumber daya manusia dan manusianya terbilang sangat tertinggal dari berbagai aspek kehidupan. Kegiatan masyarakatnya ketika itu lebih banyak berurusan dengan pohon lontar atau membuat jalan ke pohon lontar yang mengarah kepada kemaksiatan ketimbang ke tempat yang ma’’ruf, seperti tempat ibadah atau masjid, dan sebagainya. Hal ini merupakan bias dari kejahilian atau kebodohan mereka. Bukti kejahilian atau kebodohan itu, yakni masyarakat kaloling sangat hafal pepatah bugis, bahwa “seddi laleng tepedding diolah yanaritu lalengna passarie”(satu-satunya jalan yang tidak boleh dilalui yakni jalannya tukang membuat Ballo).  Masyarakat Kaloling hampir semua telah mendapat pesan itu, akan tetapi sangat sedikit diantara mereka yang merealisasikannya dalam praktik hidup dan kehidupannya. Malahan yang mereka lakukan justru sebaliknya. Maka sekarang Masyarakatnya sudah banyak yang berpendidikan, pengusaha, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menjadi tanda ada upaya yang mengarah kepeningkatan status sosial dalam hidup dan kehidupannya. Disamping itu, pola pikir masyarakatnya sudah banyak yang berubah dan sudah tergolong maju. Mereka sudah banyak yang paham arti dan tujuan kehidupan didunia ini. Seperti yang dijelaskan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an yang maknanya sebagai berikut; “Dan tidak diciptakan jin dan manusia oleh Allah SWT kecuali untuk mengabdi kepadaNya”. Dalam konteks tersebut maka masyarakat Kaloling secara beransur-ansur meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah lakukan pada masa lalu.
Dengan demikian, masyarakat Kaloling tengah berbenah diri menbangun kehidupannya terutama kehidupan keagamaan. Disisi lain hambatan dan tantangan silih berganti. Sisa-sisa praktik TBC ( tahayyul, bid’ah, dan Churafaat) belum steril  datang lagi paham-paham baru yang inti ajaran tidak sejalan denggan ajaran Islam sesungguhnya. Paham-paham berupa tarekat dan aliran-aliran membuat masyarakat Kaloling berada diambang perpecahan dan ukhuwah ternodai. Faktor penyebabnya tiada lain adalah bias dari komitmen pendiriannya terhadap pahamnya masing-masing.
Mungkin disinilah perlunya mengungkap sejarah kehidupan keagamaan di tanah Kaloling pada masa silang dengan maksud untuk mereviw memori masyarakat Kaloling tentang kehidupan keagamaan tersebut. Sejarah telah mencatat bahwa masyarakat Kaloling pada awal mulanya memiliki paham animisme, kemudian masuk pengaruh Hindu dan Budha, dan terakhir pengaruh Islam. Bukti-bukti sejarahnya dapat diketahui denggan adanya tempat-tempat penyembahan ditanah Kaloling, seperti puallohe, panggo, puang Kalibaringen, puan bombang,batu lohongnge,  addemmeng lohee, dan lain sebagainya, termasuk adanya kuburan biksu di daerah tersebut.
Bukti-bukti demikian tersebut, masyarakat Kaloling harus memahaminya secara saksama karena masyarakat Kaloling sekarang sudah seratus persen memeluk agama Islam. Masyarakat Kaloling harus memastikan bahwa sisa-sisa ajaran non Islam tersebut ditanah Kaloling  sudah dibersihkan oleh ajaran Islam yang sesungguhnya. Ajaran Islam yang berlandaskan  al-Qur’an dan Hadits dan mempraktikkannya sesuai denggan apa yang telah dipraktikkan Oleh Nabi Muhammad SAW., bukan paham lain yang praktiknya  bertentangan dengan kaidah fiqh dan tidak sejalan dengan syariat Islam.

Selasa, 15 Juli 2014


Kaloling Sinjai timur Kabupaten Sinjai memahami “ ajaran  “ yang diperkiarkan aliran sesat
Oleh : Abd. Rauf TM Pasanre MA
Masyarakat Kaloling selain dikenal sebagai masyarakat pekerja keras dan sifat temperamental,  juga diikenal sebagai masyarakat yang cukup religi. Penghuni tanah Kaloling sejak dulu sudah ada yang menjadi penyiar agama, seperti Da’I, Ustaz, Qari/Qariah , dan lain sebagainya.  Diantaranya adalah Muhammad Yusuf Salihah almarhum dan almarhumah) sebagai guru penerjemah al-Quran, Ustaz Ali Taba (almarhum) sebagai Da’I atau juru dakwah yang cukup  ekstrim ditanah Kaloling pada masanya, M.  Yahya Tappa sebagai guru agama yang pada sanggat paham tentang ilmu agama (murid dari sebutan kali balangnipa penyiar agama di Sinjai bahkan diluar sinjai), M. Rusdiawan sebagai Qari Nasianal, yang mulia H.Mappanyompa  sebagai dokter di tanah Suci Mekah, dan lain seterusnya.
Kalau kita membaca deretan nama masyarakat Kaloling tersebut,mungkin saja yang timbul  dipikiran kita bahwa ternyata  komunitas masyarakat tersebut sejak dulu telah memiliki sumber manusia yang memiliki kualitas keagamaan yang cukup tingggi. Mungkin juga benak kita mengarah kepada suatu realitas keberhasilan membina masyarakat Kaloling terutama pada aspek keagamaan yang sudah sangat matan. Mungkin juga ada yang beranggapan bahwa masyarakat tanah Kaloling sudah  memiliki nuansa keagamaan yang kondusif. Namun realitasnya masih jauh dari harapan. kesennjanggan antara harapan dan kenyataan atau belum  sinkronnya´ das sein dan “das solllen”.
Masyarakat  tanah Kaloling sekarang ini dilanda bencana besar, yakni terkena erosi akidah. Akibatnya banyak masyarakat kaloling yang memilih paham-paham yang disinyalir paham tersebut masuk kategori aliran yang menyesatkan.’Nauzubillahi minzalik”.  Dosa  apakah yang pernah dilakukan masyarakat kaloling sampai membuat akidahnya terkikis dan ketauhidannya menjadi luntur dan hilang sama sekali. Petaka besar terjadi ketika terhapusnya kecintaan seorang hamba terhadap Tuhannya hanya karena dimming-immingi soal harta atau kekayaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecintaan terhadap materi masih lebih dominan dibandingkan dengan kecintaannya terhadap Allah SWT.
Kikisan akidah yang terjadi pada masyarakat Kaloling membuatnya berani membanth Al-Qu;an dan Hadits. Mereka tidak mengakui sebagian kaidah-kaidah fiqhi. Buktinya mereka mengharamkan yang dihalalkan dan sebaliknya. Mereka  mengaku Islam tetapi praktik pengabdian yang dilaksanakan sangat berbeda dengan praktik pengabdian yang dilaksanakan oleh umat Islam. Semisal rukun Islan yang terdiri atas lima perkara, sekaligus meupakan pondasi dibangunnya Islam itu menurut paham sebagian masyarakat Kaloling, dianggapnya bukan hal yang pokok  pada ajarannya. Disamping itu, pelaksanaan Shalat lima waktu yang merupakan kewajiban umat Islam, mereka mempraktikannya dengan bentuk yang berbeda.
Oleh karena itu, bilamana kita menelusuri secara saksama seluruh praktik ajarannya, maka sangatlah jelas bahwa tidak sama dengan Islam, sehingga cukup alasan untuk mengatakan bahwa bukan Islam. Pernyataan ini didasari oleh realitas aktivitas mereka sehari-hari. Keresahan demi keresahan terjadi di dalam masyarakat karena berada pada dua alternaif yang memaksanya untuk mmemilih salah satunya. Lebih tragis lagi, keretakan keluarga mengancam yakni suami, isteri dan anak akan memilih jalannya sendiri-sendiri. Dengan perkataan lain  harus menempuh jalur pintas berpisah atau bersatu paham.
Dalam kondisi dan situasi kehidupan keagamaan seperti saat ini, maka solusi yang terbaik  adalah  dengan jalan muhasabah. Masyarakat Kaloling  secara keseluruhan harus mengintropeksi dirinya tanpa terkecuali mulai dari pemerintah, masyarakat, tokoh agama, pendidik,  pemuda, organisasi, dan lain sebagainya.Dengan mereviw keberadaan dan fungsi konfonen tersebut, maka akan ditemukan titik lemah, kesalahan , dan temasuk sebab-sebabnya.
Oleh sebab itu eksistensi dan fungsi konfonen tersebut pula menjadi sesuatu yang sangat penting  dalam  menentukan warna masyarakat tanah  Kaloling pada saat sekarang . Harapannya agar semua konfonen masyarakat Kaloling memahami dirinya dan berusaha mmenciptakan keharmonisan dalam hidup dan kehidupannya. Sehingga Tanah Kaloling menjadi damai, tenteram, dan besatu seperti dahulu kala.
Masyarakat Kaloling sudah bukan pada saatnya berpikir tentang bagaimana konsep persatuan yang cocok diterapkan pada masyarakat itu. Akan tetapi sudah saatnya membuat dan melaksanakan semboyang yang dapat mempersatukan seluruh tanah Kaloling. Contoh Semboyangnya  seperti,” Kaloling  Bersaudara”, “Kaloling bersatu”,, dsb.
Masyarakat Kaloling sekarang juga, seharusnya jangan melupakan sejarah kehidupan masyarakatnya pada masa lalu. Begitu pula jangan terlalu cepat melupakan prinsip-prinsip kehidupan orang tua kita dulu diberbagai aspek kehidupan hanya dengan alasan sudah ketinggalan zaman, tidak level, dan kurang kompetitif.