Kamis, 19 Februari 2015

cerpen : Ketika tradisi tak berdaya menggapai cinta

Cerpen     :    Ketika Tradisi tak berdaya menggapai harapan cinta
                 Oleh: A. Rauf TM Pasanre
 Pada sore hari menjelang petang,suasana dingin sudah mulai menyelimuti,  tanah Nangkae yang dihulunya masuk wilayah  kekuasaan Arung Bonto. Bersamaan dengan itu, bunga desa  yang bernama  Masuara berjalan disudut Lapangan menuju sumur kecil yang airnya  bening dan indah dipandang mata. Perasaan malu tak dapat disembunyikan oleh Masuara saat tiba disumur sebab di tenpat tersebut sudah terlebih dahulu duduk manis pemuda tanpang yang tidak lain adalah salah satu pemuda  yang selama ini dianggap menaruh hati pada dirinya ( Masuara).
 Salah tingkah betul Masuara. Maklum, pada saat itu, Masuara hanya memakai sarung special batiknya yang biasanya hanya diikatkan pada bagian bawah ketiaknya, yang pasti mengundang gelagak keingintahuan  lebih jauh pada sang lawan jenis. Moment itu sempat dimanfaatkan oleh  pemuda  Tanpang tersebut untuk mencuri perhatian dan membuktikan orisinilnya, kecantikan parasnya,  dan menyempurnakan kepastian cintanya pada bunga desa itu. yang namanya dikenal orang sebagai  bunga idola kampung  (Masuara).
Suasana hening seketika itu, tidak banyak tegur sapa yang terjadi. Hanya sesekali meminta sesuatu dengan nada gemetaran dan terputus-putus bahkan biasanya tidak sampai pada tujuan pertanyaannya. Itu semua merupakan bias dari situasi perasaannya yang goncang disertai getaran dada yang berdebar-debar. Mungkinkah itu pirasat cinta atau perasaan lain yang belum jelas maknanya,” pikirnya berdua.” Yang pasti, kala itu persemaian benih cinta  alamatnya sudah mulai terwujud diantara mereka berdua. Sungguh serasi benar, kata orang kampung, apatalagi dipadukan dengan makna diksi namanya, Masuara dan Macora dua nama yang boleh dikata seia sekata atau sejoli atau satu stel dua gergaji, atau bagaikan  Romeo dan Yuli,  bahkan melebihi kisah cintanya Joda dan Akbar.
MASUARA, Gadis desa yang dikenal sebagai bunga Kampung di tanah Nangkae. Memiliki garis keturunan dari Arung Bonto, yakni cucu dari Caco Daeng Malangre. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa status sosial gadis tersebut bukan seperti masyarakat kebanyakan. Disamping itu, Masuara tergolong gadis terpelajar menurut ukuran masyarakat desa Nangkae. Gadis tersebut adalah alumni sekolah pendidikan guru agama. Sebuah tingkat pendidikan yang dianggap cukup lumayan pada tahun 80-an. Apalagi tidak semua orang tua mampu menyekolahkan anaknya  setingkat dengan pendidikan guru agama pada waktu itu. Mungkin saja pernah kita mendengar siruasi dan kondisi daerah itu, daerah yang dikenal dengan nama borong, masyarakatnya, jangankan untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah yang tingkatannya lebih tinggi, untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja sangat susah.
Namun sekarang zaman telah jauh berubah bahwa Nangkae yang dulu bukan Nangkae sekarang. Nangkae  yang dulu sangat terisolir tidak ada jalur transportasi ke daerah itu. semuanya harus ditempuh dengan jalan kaki. Kehidupan masyarakatnya hanya lebih cenderung bertani dengan tanaman jangka panjang. Oleh karena itu, untuk kebutuhan  sehari-harinya, ada yang memilih berdagang, ada yang memenuhi undangan potong padi di daerah lain, dan yang lebih parah lagi ada masyarakat yang mengambilkan panjar bayaran tanamannya yang baru berbuah, seperti cengkeh, kopi, dan lain sebagainya. Hal itu mereka pahami benar bahwa  perbuatan itu sangat dilarang atau tidak diperbolehkan menurut  ajaran agama yang dipercayainya, tetapi terpaksa  mereka melakukannya dari pada harus mati kelaparan bersama keluarganya.
Dalam kondisi menghadapi kejamnya kehidupan ditanah kelahiran sendiri, yang setiap saat harus bertahan dengan pahit getirnya zaman yang dilaluinya. Maka penduduk tanah  Nangkae yang termasuk usia produktif tidaklah mereka tinggal pasrah dengan gempuran hidup yang begitu dahsyat. Akan tetapi kebanyakan mereka berinisiatif untuk merantau ke kota dan selebihnya ada yang memenuhi undangan memotong padi di Kampung tetangga, dan sebagainya. Tentu saja, tak ketingggalan gadis desa yang bernama Masuara, padanya lebih memilih untuk memenuhi undangan desa tetangga dari pada harus menjadi pembantu pada orang Cina di Makassar.
Pada saat itu mulailah Masuara lebih dikenal pemuda yang berasal dari luar tanah kelahirannya. Apalagi gadis pendiam yang bernama Masuara ini punya aura ketertaikan pada siapa saja yang melihatnya ( acoereng pakkita).
Buktinya, setiap mengunjungi sebuah kampung maka ada-ada saja orang dari kampung itu yang merasa simpati kepadanya. Wujud simpatinya yakni mereka datang ke rumah Masuara dengan alasan yang tidak jelas. Ada yang pura-pura bertamu, ada yang beralasan menembak burung, ada yang pura-pura mau membeli  ayam atau tembakau, dan lain sebagainya. Mereka itu melakukannya  tiada lain hanya untuk memastikan Masuara belum ada yang menyimpangnya ( taro ada,tradisi bugis). Bukti lain bahwa Masuara tergolong jajaran gadis rebutan, yakni lembaran surat cinta yang ada dibawah kasur Masuara boleh dibilang tak terhitung jumlahnya.
           Namun demikian, sayang sungguh sayang, gadis jelita itu sejak kelas enam  sekolah dasar sudah terpampang segel cinta yang cukup lebar di dadanya atas persetujuan orang tuanya. Orang tuanya pasti menyetujuinya pemuda itu karena orangnya  sabar, sopan,berpendidikan, dan juga tergolong orang berada. Kriteria demikian itu memang sangat diidam-idamkan oleh orang tua Masuara sejak dahulu. Dengan harapan supaya nanti kehidupan anak-anaknya tidak mengulangi kehidupan yang dialami oleh orang tuanya. Suatu harapan dan cita-cita dari orang tua Masuara yang sangat luar biasa. Hanya saja perlu diingat bahwa hal itu belumlah cukup bagi kehidupan manusia. Artinya, cinta itu tidak dapat diukur dengan hanya kriteria sebagaimana tersebut di atas.
Kini cermin lebar telah terpampang di depan mata orang tua Masuara, setelah mengawinkan salah satu gadisnya dengan orang berada atau pegawai. Namun pada akhirnya berbuntut dengan perceraian, disebabkan tidak adanya landasan cinta mereka berdua. Mereka hanya dipaksa kawin kaya st Nurbaya di zaman modern ini. Bahkan cendrung mengorbankan pendidikan anaknya hanya untuk menyempurnakan tradisinya. Dengan alasan, tidak satu orang tuapun didunia ini yang menginginkan anak menjadi orang yang tidak baik. Oleh karena itu ikutilah orang tua, menurutnya.
Bunga desa Masuara yang telah dipasang dengan erat segelnya sejak masih duduk dibanku sekolah dasar, memberi sinyal merah bagi seluruh pemuda yang mengidamkan cintanya. Sial betul harapan pemuda lain. Betapa tidak, setiap ada pemuda yang  mencoba untuk melamar, maka alasan orang tuanya yakni sudah ada yang menyimpangnya.
Anehnya, Masuara sekalipun telah disimpang oleh seorang pemuda, namun orang tuanya tidak mempedulikan kebebasannya untuk bergaul dengan pemuda yang dia inginkan. Mungkin saja disebabkan oleh gaya bercinta yang diterapkan oleh pemuda yang mengikatnya masih menggunakan metode lama. Atau gaya bercinta ala zaman klasik. Salah satu contoh metode lama, yakni anaknya yang dicintai tetapi orang tuanya yang didekati. Tradisi bercinta seperti demikian itu sudah dianggap ketinggalan zaman. Sebuah kebodohan bilamana pemuda yang tinggal di kota, lalu caranya berpacaran masih sangat kuno atau klasik. Paradigma bercinta muda-mudi sekarang harus diakui bahwa kondisinya sudah semakin modern.. Tidak sedikit kita jumpai cinta hanya bersifat instan. Bahkan ada sebagian gadis berprinsip, “ jangan tunggu lama-lama nanti aku diambil orang.”
Prinsip sebagaimana disebutkan di atas, tidak secara serta merta oleh Masuara mengadopsinya secara keseluruhan dalam penantiannya. Apa yang dilakukan oleh Masuara dalam menyikapi cintanya, hanya secara kebetulan hasilnya serupa tetapi tak sama dengan prinsip tersebut. Sebagai gadis yang bertabiat terpuji, sikap dan niatan baiknya dibuktikan dengan tetap melakukan penantian selama kurang lebih tujuh tahun . Suatu penantian yang terbilang cukup lama, dan tiada kepastian. Tetapi Masuara tetap sabar dan tabah menjalaninya bertahun-tahun. Gangguan silih berganti, terpaan badai datangnya bertubi-tubi, namun  niatan  suci si Bunga desa itu untuk menuntut ilmu  pada jenjang yang lebih tinggi, tidak pernah surut dalam cita-citanya. Hal tersebut sekaligus dijadikannya senjata ampuh kedua setelah ikatan  pemuda itu, untuk membendung semua lamaran yang datang padanya. Lamaran-lamaran tersebut sudah ada sejak tamat sekolah dasar, madrasah tsanawiah sampai sekolah pada pendidikan guru agama.
Puncak penantian Masuara ketika dirinya sudah tamat pada sekolah pendidikan agama negeri di Tanete Bulukumba. Alumni PGAN ini sudah mulai bingung memikirkan nasibnya, terutama jalinan cintanya yang tidak menemui kepastian dari pemuda yang menyimpangnya. Dengan perjalanan waktu menjadikan si bunga desa Masuara itu berstatus pengangguran. Aktivitasnya tidak menentu, kebanyakan hanya tingal di rumah sepanjang hari tanpa ada kesibukan sedikitpun. Dalam kondisi dan situasi seperti itu, Masuara akhirnya berpikir untuk  berangkat ke Makassar mencari pekerjaan. Oleh karena itu, dia berusaha menghubungi Tantenya, yang secara kebetulan mau berangkat ke Makassar. Dan tidak disangka-sangka, Masuara berangkat bersama satu mobil dengan pemuda yang telah menyimpangnya. Tapi aneh bin ajaib, karena tidak sepatah katapun sebagai pesan yang keluar dari mulut pemuda itu buat Masuara. Dalam pada itu, Masuara semakin cemas, dalam hatinya bertanya-tanya, apa artinya semua ini, apakah ini merupakan isyarat bahwa terbuka peluang menentukan pilihan sendiri…
Ketika sampai di Makassar, Masuara dalam hatinya tetap tidak putus harapan, dia  menanti selalu pesan ataukah nasihat. Akan  tetapi harapan  itu tidak sempat terwujud.. Malahan sewaktu mobil tumpangan berdua singgah dialamat pemuda itu, tidak ada tegur sapa yang tercipta. Dia hanya langsung turun dari mobil dan tidak ada pesan apapun buat wanita yang katanya dicintai dan akan dijadikan pemdanping hidupnya.
           Harapan cinta realitasnya  tidak demikian, kalau seandainya merasa  mencintainya dengan sungguh-sungguh maka rasa kekhawatiran tentang keselamtan dirinya harus menjadi hal yang sangat diutamakan. Apalagi dia urban ke kota besar yang pengaruhnya sangat lauar biasa.
Kita semua memahami pasti, bahwa pengaruh kota dengan pengaruh pedesaan diberbagai sisi kehidupan sangat jauh berbeda. Dalam konteks ini, paling tidak ada pertanyaan tentang alamat, tujuannya, dan pada siapa dia tinggal ,dan sebagainya. Itu kalau memang pemuda itu punya keinginan untuk memiliki gadis pujaannya itu. Oleh karena itu limpahan kesalahannya jangan ditumpahkan semua pada gadis desa itu. Sebab menunggu dengan jangka waktu kurang lebih tujuh tahun, itu bukan pekerjaan yang mudah. Dan itu sudah dibuktikan Masuara dalam penantiannya.
Pada akhirnya, pergantian waktu jualah yang mempertemukan Masuara dengan pemuda sederhana, jeleknya tidak terlalu alias biasa-biasa seperti kebanyakan 0rang di kampung itu. Pemuda itu tak lain adalah sepupunya yang berasal dari tanah kaloling, dimana kampung itu merupakan tempat kelahiran bapaknya Masuara. Pemuda tersebut sementara menimbah ilmu pada salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar Sulawesi selatan.
           Lanjut ceritanya, jalinan cinta antara Masuara dengan sepupunya semakin hari semakin melengket bagaikan prangko. Justru itu kemana saja sepupunya itu pergi maka Masuara selalu ikut padanya.. Semisal sepupunya ke Sulawesi Tengah Masuara ikut kesana, ke Sulawesi Tenggara, juga Masuara ikut, dan sebagainya.
           Jalinan cinta Masuara terhadap sepupunya tidak seindah dengan apa yang dibayangkan. Biasnya jalinan cintanya dapat menimbulkan perseteruan dua kampung atau dua kubu  yang sesungguhnya berasal dari satu keluarga. Semakin serunya, maka kedua kubu itu masing-masing berusaha untuk memisahkan  atau menghapus cintanya Masuara terhadap sepupunya. Merka berusaha dengan caranya sendiri-sendiri. Mereka juga mencari bantuan pada orang pintar di kampungnya masing-masing. Boleh dikatan bahwa sudah habis semua orang pintar didatangi, sudah habis air saktinya, sudah habis baca-bacanya. Namun tidak satupun yang mampu memisahkannya berdua, malahan tambah melengket saja sehingga mereka semua menjadi putus asa.Akhirnya salah satu diantara mereka memberikan nasihat bahwa sekarang kita harus menghentikan segala upaya  memisahkan berdua karena seandainya ini adalah ajal maka waktunya memang sudah tiba. Itu artinya bahwa upaya apapun yang kita lakukan hasil hanya sia-sia belaka.
           Oleh karena itu, suhu perseteruan sudah sedikit redah, namun masalah belum kunjung selesai. Hal itu dikarenakan sepupu Masuara baru saja tamat pendidikan sarjana dan belum memiliki pekerjaan tetap. Kondisi demikian ini sempat dimanfaatkan oleh orang tua Masuara dalam mempengaruhi anaknya  untuk  memutuskan cintanya pada sepupunya.Terlebih keadaan ekonomi sepupunya Masuara sempat  juga menjadi pemicu dan berbuah senjata pamungkas  orang tuanya dalam membujuk Masuara, dengan mengatakan, mengapa kamu mau kawin dengan sepupumu padahal dia tidak punya apa-apa, dia mau kasih makan kamu dengan apa, palingan kamu dikasih makan  dengan batu-batu karena yang banyak dikampungnya hanya batu-batu saja. Lebih baik kamu mengikuti tradisi orang tuamu, kamu akan dijodohkan dengan orang berada yang tidak akan membuatmu susah dalam kehidupanmu kelak.
Bujuk rayuan orang tua Masuara tidak mendapatkan simpati, justru tipu daya Masuara yang berhasil. Yakni Masuara pura-pura mau pergi ke pesta sehingga minta uang dan membawa pakaian yang cukup, padahal rencananya mau kabur dari rumah. Jadi pada wakru pesta di Palangka itu   selesai maka Masuara berpesan pada kemanakannya yang bernama Suarni bahwa dirinya belum mau pulang sekarang karena mau ketemu dengan tante  di Barae. Oleh karena itu, pulang saja kita duluan dan sampaikan pesan ini pada orang tua di rumah ( di Nangkae). Kemanakan Suarni, percaya saja apa yang disampaikan oleh Masuara. Akhirnya sama-sama  keluar dijalanan menunggu mobil, suarni menunggu mobil ke arah Nangakae sedangkan Masuara menunggu mobil kearah kota Sinjai. Beberapa jam kemudian Suarni tiba di Nangkae tetapi Masuara tidak singgah di Sinjai atau Barae sebagaimana yang dia pesankan, tetapi dia langung ke Bajoe tempat very menyebrang ke Sulawesi Tenggara. Ternyata Masuara punya niatan untuk ketemu dengan sepupunya di Kendari.
Orangtua Masuara semakin jengkel, membrontak, dan semakin tidak mampu menahan rasa malunya terhadap pemuda itu. menurutnya begitu banyak sisi kebaikan pemuda itu yang tidak berdaya untuk membalasnya. Dalam hatinya berkata , Masuara anak tidak tau diuntung dan tidak tau  menghargai orang tua.  Mau jadi apa nanti orang yang seperti itu. Orang tua sudah bersusah payah untuk mencarikan kebaikan tetapi dia meningalkannya begitu saja.
Sungguh sangat disayangkan dan sudah sangat terlambat, karena situasinya seprti itu, barulah datang dari pihak pemuda itu untuk melamar Masuara. Makanya itu, orang tua Masuara hanya menyampaikan bahawa mungkin tidak ditakdirkan untuk berjodoh anak kita karena Masuara sekarang sudah tidak ada di rumah dia sudah berada di kampung lain. Maka pada saat itu, berhentilah niatan pemuda tersebut untuk memdambakan Masuara. Artinya bahwa tradisi itu tidak mampu mengikat cintanya Masuara.
Dalam pada itu, setelah sepupu Masuara terangkat menjadi pns, maka diantarlah  Masuara pulang ke kampung dan sekaligus langsung dilamar. Namun lamaran itu tidak berjalan mulus, terjadi masalah yang hampir membatalkan rencana pelamaran itu. untung saja, orang tua sepupu Masuara yang tidak lain adalah saudara tertua orang tua Masuara yang selama ini sangat dihargainya. Padanya tetap memaksakan untuk mengadakan pesta itu dengan alasan bahwa memang mempunyai niat unruk menjodohkan dari salah satu anaknya. Oleh karena itu pesta tetap harus dilangsungkan meskipun kedua orang tua Masuara kurang menyetujuinya. Ibunya telah terlebih dahulu meninggalkan kampung ke Sulawesi Tengah, sedangkan bapaknya telah menyerahkan haknya ke orang lain untuk mengurusnya.
Pada akhirnya, pesta itu dilangsung  dengan meriah di rumah Masuara yang terletak di desa Biji Nangka kecamatan Sinjai borong yang dulunya dikenal dengan kampung bohong. Dan sekarang Masuara hidup bahagia bersama dengan suaminya dan dua orang gadisnya di jantung kota Kendari Sulta.

                                                                                                             Wassalam

Rabu, 11 Februari 2015

Cerita lucu masyarakat Kaloling Sinjai Timur sulsel


          Cerita lucu Masyarakat Kaloling Sinjai Timur
                                                     Oleh : A Rauf TM Pasanre MA


                  Kibata ala Nippon atau Jepang

Pendudukan Jepang di Indonesia bila diukur dari masa jeda atau waktu , maka Jepang terbilang bangsa asing alias bangsa penjajah yang  memiliki kesempatan menjajah rakyat Indonesia  yang sangat singkat. Akan tetapi Negara Jepang itu mampu memanfaat kesempatan dalam kesempitan tersebut. Sehingga bangsa Indonesia betul-betul merasakan  pahitnya sebagai bangsa yang terjajah. Bias penjajahan Jepang itu, amunisi kekejamannya dirasakan oleh masyarakat di berbagai sisi kehidupan. Disamping itu, kejadiannya hampir merata diseluruh tanah air Indonesia tanpa memandang suku, ras, dan agama masyarakat yang ada. Bahkan pada sisi politik, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya, tidak tersisahkan sebagai lahan untuk mengekpresi visi dan misi jajahannya. Masyarakat pada waktu itu dikungkung dalam ketidakberdayaan. Berbagai aktifitas keseharian masyarakat Indonesia senantiasa dalam pengawasan dan intimidasi. Karakter dan bakat anak-anak bangsa di ibu pertiwi Indonesa tercinta ketika itu dibiarkan layu sebelum berkembang. Masyarakat Indonesia dimata penjajah hanya sebatas bahan ekploitasai yang tak ubahnya bagaikan sapi perahan, yang dibutuhkan hanya sumber daya pisiknya. Sedangkan sumber daya mental, seperti ide, gagasan, kreatifitas, iptek dan imtak, dan sebagainya tak memiliki ruang khusus dalam pola pikir mereka, bahkan hanya  diabaikan begitu saja.
Bukti kongkrit bahwa  karakter penjajah itu  identik dengan kekerasan, sadisme, dan lain sebagainya. Hal ini dapat diungkap pada cerita  Si Kate atau Pak, Kate Nembong di Kampung Kaloling Sinjai Timur. Ceritanya: pada suatu hari pak Kate Nembong menggiring ternakannya ke padang rumput sekitar leppong galingkangnge. Pada waktu itu pula matahari sangat cerah. Sinarnya pun turut menyaksikan pak Kate Nembong bermain kejar-kejaran dengan teman-teman gembalanya. Ketika matahari berada pada posisi luruh dari kepala ke kaki itu menunjukkan bahwa perjalanan matahari  sudah separuh dari pengitarannya. Pada saat itu, pak Kate Nembong sudah mulai lelah dan merasakan haus dan lapar. Akan tetapi persiapan makanan tidak ada, yang ada hanya ubi kayu mentah yang tidak dapat langsung dikonsumsi. Maka berenunglah Pak Kate Nembong sejenak  pada waktu itu,bagaimana cara untuk mendapatkan api pada situasi seperti sekarang ini. Dan pada  akhirnya teringatlah olehnya kejadian pada  masa silang  bahwa pada suatu waktu pernah  menyaksikan kejadian kebakaran hutan, tetapi menurutnya tidak ada orang yang sengaja membakarnya. Dari hal itu, pak Kate Nembong mengambil kesimpulan bahwa kemungkinan besar kebakaran itu disebabkan oleh kayu yang saling bergesekan sehingga dapat menimbulkan api.
Pengalaman pak Kate Nembong sebagaimana tersebut di atas, menginspirasinya sehinnga timbul inisiatif untuk mempraktekkannya. Dan bertepatan dengan itu pula, datang seorang Jepang atau Nippon menyaksikan Pak Kate Nembong membuat api. Mula-mula Pak Kate Nembong mengambil Bambu Kering ukuran 30 cm dan dibelah dua, lalu dibuatkannya penggosok dari bambo juga tetapi dibuat atau dibentuk lebih kecil, modelnya seperti pisau yang ada matanya.Selanjutnya, punggung bamboo tersebut digosok dengan posisi melintang. Cara menggosoknya yakni tidak boleh terputus dan semakin lama harus semakin kencang. Pada saat itu, ampas gosokan yang halus berkumpul sebelah menyeblah, kemudian timbul asap dan akhirnya menjadi api. Sungguh gembira Pak Kate Nembong karena percobaannya berhasil sempurna. Namun  seorang Jepang yang menyaksikannya dari awal percabaan Pak Kate Nembong bukanlah memberikan  ucapan selamat pada Pak Kate Nembong atas keberhasilannya. Akan tetapi Si Jepang atau Si Nippon yang sejak awal hanya senyum-senyum melihat Pak Kate Nembong membuat api. Malahan hanya menghampiri Pak Kate Nembong lalu menarik tangannya kemudian menutup telinga kirinya Pak Kate Nembong , lalu menghantamnya dari sebelah kanan. Itulah yang disebut Kibata ala Jepang atau Nippon. Sebuah  hadiah bagi pak Kate Nembong di Kaloling Sinjai Timur.
                                        


         

Cerita Masyarakat Kaloling Sinjai Timur sulawesi selatan


Kumpulan Cerita masyarakat Kaloling Kab. Sinjai Timur Sulawesi Selatan
                        Oleh  :     Drs.   A  Rauf TM Pasanre MA
Tedong Bulengna Imanru
Riolo ritana asalamakenna tanae di Bainang Kaloling. Engka tau riaseng puang Manru. Iaro Puang Manru  jama-jamangna maggalung (petani). Namakkuangnana ro napiara olok-kolok, ianaritu mappiara tedong. Namabbija-hija olok-kolokna  na maega tedongna. Tedong na Puang Manru mabbuangpuangneng hulu-hulungna, engka malotong na engka to mabuleng. Na seddi ro mabulengnge lain tappana de napada rangengna. Ia ro bulengnge seddie taddoleng raung colingna, konjappai pappada na keng nae talippuru. Nengnia biasa toi tottong mammengtoro pappada tau  ujang sitengnga iaregga tau mirin-miringnge.
Namakkuni ro kedo-kedona tedong Bulungn pak Manru, angkengna  rialani ri pakkampongnge pattellareng. Narekkko engka tau ri ita madongo-dongo  engrengnge  kalaing-laing kedona, ri tella’ni pada tedong Bulenngna pak Manru ( tedong Bulengna Imanru).
Artinya : Dahulu kala , di tanah bainang Kaloling Sinjai Timur bermukin orang yang bernama pak Manru. Dia adalah petani, sehingga padanya mmelihara kerbau  yang digunakan untuk membajak sawahnya. Kerbau pak Manru iru sangat banyak dengan berbagai warna bulu, ada yang berwarna hitam dan ada yang berwarna belang. Si kerbau belangnya itu kebetulang dia kena penyaki telinga. Makanya itu, telunga kerbau belang itu seperti mau jatuh sebelah. Akibat penyakit telinga itu, si kerbau belang bila berjalan miring kaya habis dipukul kepalanya., dan kita tidak tahu arahnya kemana. Dia berputar-putar tidak menentu. Begitu pula bila kerbau belang itu beristirahat, dia berdiri kaya sedih sekali (kaya orang menghayalkan sesuata)
Dari gerak dan perilaku kerbau belang Pak Manru tersebut sehingga masyarakat mengambil julukan dengan istilah tedong bulengna ila Manru. Maka mulai saat itu, setiap ada orang yang berprilaku aneh atau tidak seperti selayaknya ,masyarakat langsung menjulukinya  Tedong Pulengna ila Manru…..

Selasa, 10 Februari 2015

Marhaban ya Ramadhan


Marhaban  Ya   Ramadhan
                                    Oleh  : Drs  Abdul rauf TM Pasanre  MA

Ekpresi seluruh masyarakat Muslim  dan Muslimah di Indonesia dalam  menyongongg datangnya bulan suci  ramadhan ditunjukkan denggan berbagai aktivitas keagamaan yang sebahagiannya bernuuansa euforia keagamaan atau  wujud kegembiraan yang terbilang berlebihan. Penyambutan itu diterjemahkan olehnya menurut  versi  masin-masing. Semisal adanya aktiivitas kegembiraan yang berupa pawai  keliling  kampung, ada yang  ziarah kubur, ada yang pesta kembang api, ada yang mengadakan pembersihan ditempat-tempat ibadah,  dan lain-lan sebagainya.
Gema kegemmbiraan bulan suci ramadhan itu, bias pantulannya  merambah tidak hanya terbatas pada golongan dan kelompok tertentu saja. Akan tetapi mulai  dari anak-anak,,  remaja , orang tua, bahkan remaja masjid,  imam  masjid, dan penceramah. Kesemuanya itu tak ketinggalan dalam mengambil peran  dalam menikmati pancaran cahaya keagungan dan kesucian bulan ramadhan. Mereka turut serta menjadi pelaku utama  amaliah rammadhan sesuai dengan  kapasitas yang dimilikinya.
Makna kedatangan Bulan Suci Ramadhan bagi masyarakat muslim dapat diuraikan sebagai berikut:
a.       Bulan Suci Ramadhan bagi Anak-Anak
Kedatangan bulan suci ramadhan bagi anak-anak dijadikannya momentum awal terjadinya intraksi sosial yang lebih luas. Mereka baru belajar bersosialisasi dalam bentuk shalat berjamaah, makan kue gratis pada waktu buka bersama. Pikiran anak-anak atau yang dipahami oleh mereka selama ini kalau mau makan kue harus dibeli atau di buat sendiri oleh ibunya.Ternyata  pada bulan suci ramadhan  semua itu gratis. Dari sini mereka bisa menarik kesimpulan bahwa manusia tidaklah mungkin  hidup secara individual maksudnya adalah manusia itu pasti membutuhkan bantuan orang lain. Motivasi lain bagi anak-anak dengan datangnya bulan suci ramadhan selain yang telah disinggung diatas, yakni dapat bertemu dengan teman lama, seperti teman TK, SD,  teman tetangga lama, dan sebagainya.
Oleh karena itu, dengan momen-momen penting dan mengesankan yang dialami oleh anak-anak pada bulan suci ramadhan itu membuat mereka senantiasa menginginkan  atau merindukan selalu datangnya bulan yang penuh berkah itu.
b.      Bulan Suci Ramadhan bagi Remaja
Remaja memaknai bulan suci ramadhan tentunya sangat bervariasi. Ada yang menyambut datangnya  bulan suci ramadhan dengan kegiatan yang positif, ada yang menyambut datangnya bulan suci ramadhan dengan menjadikan ajang pertemuan jodoh, ada juga kelompok yang pesimis atau kelompok remaja yang tidak punya program apa-apa, baginya tidak terlalu menaru harapan terhadap bulan suci ramadhan, dan lain sebagainya.  
1.      Kelompok yang optimis terhadap keberadaan bulan suci ramadhan. Mereka sangat paham betul tentang fadilah-fadilah atau  keutamaan bulan puasa yakni  bulan yang penuh berkah. Keoptimisan mereka berangkat dari sebuah keyakinan bahwa tujuan  diadakannya bulan puasa oleh Allah SWT, pasti mereka dapat meraihnya dengan syarat kesungguhan melaksanakan puasa ramadhan dan didasari oleh iman kepada Allah serta mengharap ridha-Nya. Dalam penjelasan hadits dikatakan bahwa baranngsiapa yang berpuasa dengan imann dan mengharap ridha dari Allah SWT, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Penyambutan bulan suci ramadhan bagi kelompok yang optimis terhadap keutamaan terhadap bulan suci yang penuh berkah ini, sudah barang tentu mereka itu  melakukan aktivittas atau amaliah-amaliah ramadhan dengan penuh kesungguhan.
2.      Kelompok yang biasa-biasa saja (netral)
Kelompok netral atau  kelompok yang tidak menunjukkan sikap optimis dan juga tidak menunjukkan sikap pesimis tersebut, padanya menyongsong datangnya bulan yang penuh berkah ini, dengan ekspresi yang biasa-biasa saja. Hal tersebut tercermin pada  kegiatan- atau amaliah ramadhan yang mereka lakukan. Sebagai contok pada kegiatan  ibadah Shalat baik shalat wajib maupun Shalat sunnah yang dilakukannya sama saja ketika melaksanakannya di luar bulan suci ramadhan. Kedatangan bulan ramadhan bagi mereka hanya dianggap sebagai bulan momen keramaian karena secara kebetulan banyak orang  yang melaksanakan shalt jamaah di masjid bak , waktu  shalat isyah maupun waktu shalat subuh. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa sebagian dari mereka hanya menjadikan ajang pertemuan muda-mudi bulan yang penuh ampunan itu.”nauzubillahi minzalik”
3.      Kelompok yang pesimis
Kelompok yang pesimis adalah kelompok yang paling rugi dalan bulan puasa. Betapa tidak, mereka ini termasuk sebagaian kelompok yang tidak tahu dan tidak amau tahu tentang eksistensi bulan yang peruh barakah.  Nabi Muhammad SAW, dalam penjelasan haditsnya, mengatakan bahwa seandainya umatku mengetahui nilai pahala yang ada dalam bulan suci ramadhan maka pasti mereka menginginkan semua bulan dijadikan bulan ramadhan. Begitu luar biasanya muatan pahala di bulan puasa itu. Disamping itu, al-Qur’an diturunkan pada bulan  tersebut. Dan yang paling paripurna  lagi, yakni ada satu malam yang memiliki nilai imbalan pahala yang lebih baik dari seribu bulan. Malam tersebut disebut malam lailatul Qadar.
Oleh karena itu, kelompok pesimis ini akan memperoleh pahala kegiatan ramadhan dengan prosentase yang sangat minim. Dan kelompok tersebut masuk  kategori golongan  orang yang merugi karena tidak berhasil memanfaatkan dan memuliakan bulan suci rramadhan. Terlebih lagi, tidak ada jaminan untuk bertemu dengan bulan ramadhan berikutnya.
c.               Bulan Suci Ramdhan bagi Orang Tua
Kedatangan  bulan suci ramadhan bagi orang tua mempunyai  nuansa sambutan yang berbeda dengan nuansa sambutan yang dilakukan oleh anak-anak. Hal itu disebabakan karena orang tua itu sudah banyak pengalaman tentang penyambutan bulan suci ramadhan. Artinya, orang tua  sudah banyak mngetahui tentang aktivitas yang .harus dilakukan pada bulan suci ramadhan. Hanya saja kelompok orang yang sudah diangggap tua ini,, masih banyak   melakukan aktivitas ramadhan dengan menngulang kebiasaan-kebiasaan yang kurang bangus pada bulan suci ramadhan sebelumnya.. Mereka mengamalkan shalat tarawih tetapi shalat lima waktunya (shala wajidnya) tidak dilaksanakan dengan baik. Begitu pula shalat jamaahnya di masjid, hanya ada pada bulan suci ramadhan. Fenomena aktivitas orang tua seperti tersebut  masih banyak dijumpai di masjid-masjid. Namun  demikian, realitasnya  tetap  harus diakui bahwa masih ada kelompok yang memiliki penyambutan bulan suci ramadhan yang cukup sempurna, hanya saja prosentasenya berada dibawah kelompok yang tidak sempurna.
Fenomena lain  yang umumnya terjadi pada kaum yang berusia ini adalah keutuhan shafnya hanya ada pada awal-awal ramadhan. Lama kelamaan diserobot langsung oleh kaum muda akhirnya pada akhir ramadhan pasukan orang tua tinggal dihitung dengan jari. Bahkan biasa pada malam takbir kelompok tua  ini sudah menghilang entah kemana. Maka dalam pada itu, yang bertahan biasa hanya pak imam  saja. Jadi tinggal pak imam yang ditemani oleh anak-anak mengomandankan takbir.
                                   Bulan puasa  atau bulan ramadhan kalaulah kita kaitkan dengan persoalan usia, maka bulan puasa atau bulan ramadhan itu sudah cukup  tua karena lahirnya bersamaan  dengan adanya Islam.  Oleh karena itu, bilamana bulan Ramadhan dijadikan sebagai sarana latihan atau training maka hasilnya sudah pasti telah menamatkan professor-professor puasa yang tidak sedikit jumlahnya.  Namun realitasnya tidak demikian, masih banyak umat Islam yang tidak mengerti atau tidak memahami tentang puasa (apa itu puasa, bagaimana melaksanakan puasa, dan untuk apa berpuasa,…). Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pekerjaan rumah umat Islam yang harus segera diselesaikan. Hal tersebut dimaksudkan supaya seluruh umat Islam paham betul puasa itu, dan selanjutnya melaksanakannya dengan tepat.
           Di akhir tulisan ini penulis, mengandaikan Bulan Suci Ramadhan itu bagaikan seorang tamu yang sangat agung. Sebagai seorang tamu maka sudah pasti tuan rumah harus memperlakukannya dengan baik. Kesempurnaan perlakuan atau pelayanan terhadap tamu Ramadhan tersebut dengan melaksanakan amaliah-amaliah ramadhan dengan tujuan mencari ridha Allah SWT.  Dengan demikian, maka tamu yang bukan semabrang tamu itu yakni tamu yang membawa berkah itu pasti bermakna dalam kehidupan kita baik dunia maupun akhirak kelak,, insa Allah….
                                                           ……                 WASSALAM..