Cerpen :
Ketika Tradisi tak berdaya menggapai harapan cinta
Oleh: A. Rauf TM Pasanre
Pada sore hari menjelang petang,suasana dingin
sudah mulai menyelimuti, tanah Nangkae
yang dihulunya masuk wilayah kekuasaan
Arung Bonto. Bersamaan dengan itu, bunga desa
yang bernama Masuara berjalan
disudut Lapangan menuju sumur kecil yang airnya
bening dan indah dipandang mata. Perasaan malu tak dapat disembunyikan
oleh Masuara saat tiba disumur sebab di tenpat tersebut sudah terlebih dahulu
duduk manis pemuda tanpang yang tidak lain adalah salah satu pemuda yang selama ini dianggap menaruh hati pada
dirinya ( Masuara).
Salah tingkah betul Masuara. Maklum, pada saat
itu, Masuara hanya memakai sarung special batiknya yang biasanya hanya
diikatkan pada bagian bawah ketiaknya, yang pasti mengundang gelagak keingintahuan
lebih jauh pada sang lawan jenis. Moment
itu sempat dimanfaatkan oleh pemuda Tanpang tersebut untuk mencuri perhatian dan membuktikan
orisinilnya, kecantikan parasnya, dan
menyempurnakan kepastian cintanya pada bunga desa itu. yang namanya dikenal
orang sebagai bunga idola kampung (Masuara).
Suasana hening
seketika itu, tidak banyak tegur sapa yang terjadi. Hanya sesekali meminta
sesuatu dengan nada gemetaran dan terputus-putus bahkan biasanya tidak sampai
pada tujuan pertanyaannya. Itu semua merupakan bias dari situasi perasaannya
yang goncang disertai getaran dada yang berdebar-debar. Mungkinkah itu pirasat
cinta atau perasaan lain yang belum jelas maknanya,” pikirnya berdua.” Yang
pasti, kala itu persemaian benih cinta alamatnya sudah mulai terwujud diantara mereka
berdua. Sungguh serasi benar, kata orang kampung, apatalagi dipadukan dengan
makna diksi namanya, Masuara dan Macora dua nama yang boleh dikata seia sekata
atau sejoli atau satu stel dua gergaji, atau bagaikan Romeo dan Yuli, bahkan melebihi kisah cintanya Joda dan Akbar.
MASUARA, Gadis
desa yang dikenal sebagai bunga Kampung di tanah Nangkae. Memiliki garis
keturunan dari Arung Bonto, yakni cucu dari Caco Daeng Malangre. Oleh karena
itu, dapat diketahui bahwa status sosial gadis tersebut bukan seperti
masyarakat kebanyakan. Disamping itu, Masuara tergolong gadis terpelajar
menurut ukuran masyarakat desa Nangkae. Gadis tersebut adalah alumni sekolah
pendidikan guru agama. Sebuah tingkat pendidikan yang dianggap cukup lumayan
pada tahun 80-an. Apalagi tidak semua orang tua mampu menyekolahkan anaknya setingkat dengan pendidikan guru agama pada
waktu itu. Mungkin saja pernah kita mendengar siruasi dan kondisi daerah itu,
daerah yang dikenal dengan nama borong, masyarakatnya, jangankan untuk
menyekolahkan anaknya pada sekolah yang tingkatannya lebih tinggi, untuk
kebutuhan hidup sehari-hari saja sangat susah.
Namun sekarang zaman
telah jauh berubah bahwa Nangkae yang dulu bukan Nangkae sekarang. Nangkae yang dulu sangat terisolir tidak ada jalur
transportasi ke daerah itu. semuanya harus ditempuh dengan jalan kaki.
Kehidupan masyarakatnya hanya lebih cenderung bertani dengan tanaman jangka
panjang. Oleh karena itu, untuk kebutuhan
sehari-harinya, ada yang memilih berdagang, ada yang memenuhi undangan
potong padi di daerah lain, dan yang lebih parah lagi ada masyarakat yang
mengambilkan panjar bayaran tanamannya yang baru berbuah, seperti cengkeh,
kopi, dan lain sebagainya. Hal itu mereka pahami benar bahwa perbuatan itu sangat dilarang atau tidak
diperbolehkan menurut ajaran agama yang
dipercayainya, tetapi terpaksa mereka melakukannya
dari pada harus mati kelaparan bersama keluarganya.
Dalam kondisi
menghadapi kejamnya kehidupan ditanah kelahiran sendiri, yang setiap saat harus
bertahan dengan pahit getirnya zaman yang dilaluinya. Maka penduduk tanah Nangkae yang termasuk usia produktif tidaklah
mereka tinggal pasrah dengan gempuran hidup yang begitu dahsyat. Akan tetapi
kebanyakan mereka berinisiatif untuk merantau ke kota dan selebihnya ada yang
memenuhi undangan memotong padi di Kampung tetangga, dan sebagainya. Tentu
saja, tak ketingggalan gadis desa yang bernama Masuara, padanya lebih memilih
untuk memenuhi undangan desa tetangga dari pada harus menjadi pembantu pada
orang Cina di Makassar.
Pada saat itu
mulailah Masuara lebih dikenal pemuda yang berasal dari luar tanah
kelahirannya. Apalagi gadis pendiam yang bernama Masuara ini punya aura
ketertaikan pada siapa saja yang melihatnya ( acoereng pakkita).
Buktinya, setiap mengunjungi
sebuah kampung maka ada-ada saja orang dari kampung itu yang merasa simpati
kepadanya. Wujud simpatinya yakni mereka datang ke rumah Masuara dengan alasan
yang tidak jelas. Ada yang pura-pura bertamu, ada yang beralasan menembak
burung, ada yang pura-pura mau membeli
ayam atau tembakau, dan lain sebagainya. Mereka itu melakukannya tiada lain hanya untuk memastikan Masuara
belum ada yang menyimpangnya ( taro ada,tradisi bugis). Bukti lain bahwa
Masuara tergolong jajaran gadis rebutan, yakni lembaran surat cinta yang ada
dibawah kasur Masuara boleh dibilang tak terhitung jumlahnya.
Namun
demikian, sayang sungguh sayang, gadis jelita itu sejak kelas enam sekolah dasar sudah terpampang segel cinta
yang cukup lebar di dadanya atas persetujuan orang tuanya. Orang tuanya pasti
menyetujuinya pemuda itu karena orangnya
sabar, sopan,berpendidikan, dan juga tergolong orang berada. Kriteria
demikian itu memang sangat diidam-idamkan oleh orang tua Masuara sejak dahulu.
Dengan harapan supaya nanti kehidupan anak-anaknya tidak mengulangi kehidupan
yang dialami oleh orang tuanya. Suatu harapan dan cita-cita dari orang tua
Masuara yang sangat luar biasa. Hanya saja perlu diingat bahwa hal itu belumlah
cukup bagi kehidupan manusia. Artinya, cinta itu tidak dapat diukur dengan
hanya kriteria sebagaimana tersebut di atas.
Kini cermin lebar telah
terpampang di depan mata orang tua Masuara, setelah mengawinkan salah satu
gadisnya dengan orang berada atau pegawai. Namun pada akhirnya berbuntut dengan
perceraian, disebabkan tidak adanya landasan cinta mereka berdua. Mereka hanya
dipaksa kawin kaya st Nurbaya di zaman modern ini. Bahkan cendrung mengorbankan
pendidikan anaknya hanya untuk menyempurnakan tradisinya. Dengan alasan, tidak
satu orang tuapun didunia ini yang menginginkan anak menjadi orang yang tidak
baik. Oleh karena itu ikutilah orang tua, menurutnya.
Bunga desa Masuara yang telah
dipasang dengan erat segelnya sejak masih duduk dibanku sekolah dasar, memberi
sinyal merah bagi seluruh pemuda yang mengidamkan cintanya. Sial betul harapan
pemuda lain. Betapa tidak, setiap ada pemuda yang mencoba untuk melamar, maka alasan orang
tuanya yakni sudah ada yang menyimpangnya.
Anehnya, Masuara sekalipun telah
disimpang oleh seorang pemuda, namun orang tuanya tidak mempedulikan
kebebasannya untuk bergaul dengan pemuda yang dia inginkan. Mungkin saja
disebabkan oleh gaya bercinta yang diterapkan oleh pemuda yang mengikatnya
masih menggunakan metode lama. Atau gaya bercinta ala zaman klasik. Salah satu
contoh metode lama, yakni anaknya yang dicintai tetapi orang tuanya yang
didekati. Tradisi bercinta seperti demikian itu sudah dianggap ketinggalan
zaman. Sebuah kebodohan bilamana pemuda yang tinggal di kota, lalu caranya
berpacaran masih sangat kuno atau klasik. Paradigma bercinta muda-mudi sekarang
harus diakui bahwa kondisinya sudah semakin modern.. Tidak sedikit kita jumpai
cinta hanya bersifat instan. Bahkan ada sebagian gadis berprinsip, “ jangan tunggu
lama-lama nanti aku diambil orang.”
Prinsip sebagaimana disebutkan di
atas, tidak secara serta merta oleh Masuara mengadopsinya secara keseluruhan
dalam penantiannya. Apa yang dilakukan oleh Masuara dalam menyikapi cintanya,
hanya secara kebetulan hasilnya serupa tetapi tak sama dengan prinsip tersebut.
Sebagai gadis yang bertabiat terpuji, sikap dan niatan baiknya dibuktikan
dengan tetap melakukan penantian selama kurang lebih tujuh tahun . Suatu
penantian yang terbilang cukup lama, dan tiada kepastian. Tetapi Masuara tetap
sabar dan tabah menjalaninya bertahun-tahun. Gangguan silih berganti, terpaan
badai datangnya bertubi-tubi, namun
niatan suci si Bunga desa itu
untuk menuntut ilmu pada jenjang yang
lebih tinggi, tidak pernah surut dalam cita-citanya. Hal tersebut sekaligus
dijadikannya senjata ampuh kedua setelah ikatan
pemuda itu, untuk membendung semua lamaran yang datang padanya.
Lamaran-lamaran tersebut sudah ada sejak tamat sekolah dasar, madrasah
tsanawiah sampai sekolah pada pendidikan guru agama.
Puncak penantian Masuara ketika
dirinya sudah tamat pada sekolah pendidikan agama negeri di Tanete Bulukumba.
Alumni PGAN ini sudah mulai bingung memikirkan nasibnya, terutama jalinan
cintanya yang tidak menemui kepastian dari pemuda yang menyimpangnya. Dengan
perjalanan waktu menjadikan si bunga desa Masuara itu berstatus pengangguran.
Aktivitasnya tidak menentu, kebanyakan hanya tingal di rumah sepanjang hari
tanpa ada kesibukan sedikitpun. Dalam kondisi dan situasi seperti itu, Masuara
akhirnya berpikir untuk berangkat ke
Makassar mencari pekerjaan. Oleh karena itu, dia berusaha menghubungi Tantenya,
yang secara kebetulan mau berangkat ke Makassar. Dan tidak disangka-sangka,
Masuara berangkat bersama satu mobil dengan pemuda yang telah menyimpangnya.
Tapi aneh bin ajaib, karena tidak sepatah katapun sebagai pesan yang keluar
dari mulut pemuda itu buat Masuara. Dalam pada itu, Masuara semakin cemas,
dalam hatinya bertanya-tanya, apa artinya semua ini, apakah ini merupakan
isyarat bahwa terbuka peluang menentukan pilihan sendiri…
Ketika sampai di Makassar,
Masuara dalam hatinya tetap tidak putus harapan, dia menanti selalu pesan ataukah nasihat.
Akan tetapi harapan itu tidak sempat terwujud.. Malahan sewaktu
mobil tumpangan berdua singgah dialamat pemuda itu, tidak ada tegur sapa yang
tercipta. Dia hanya langsung turun dari mobil dan tidak ada pesan apapun buat
wanita yang katanya dicintai dan akan dijadikan pemdanping hidupnya.
Harapan cinta realitasnya tidak demikian, kalau seandainya merasa mencintainya dengan sungguh-sungguh maka rasa
kekhawatiran tentang keselamtan dirinya harus menjadi hal yang sangat
diutamakan. Apalagi dia urban ke kota besar yang pengaruhnya sangat lauar
biasa.
Kita semua memahami pasti, bahwa
pengaruh kota dengan pengaruh pedesaan diberbagai sisi kehidupan sangat jauh
berbeda. Dalam konteks ini, paling tidak ada pertanyaan tentang alamat,
tujuannya, dan pada siapa dia tinggal ,dan sebagainya. Itu kalau memang pemuda
itu punya keinginan untuk memiliki gadis pujaannya itu. Oleh karena itu
limpahan kesalahannya jangan ditumpahkan semua pada gadis desa itu. Sebab
menunggu dengan jangka waktu kurang lebih tujuh tahun, itu bukan pekerjaan yang
mudah. Dan itu sudah dibuktikan Masuara dalam penantiannya.
Pada akhirnya, pergantian waktu
jualah yang mempertemukan Masuara dengan pemuda sederhana, jeleknya tidak terlalu
alias biasa-biasa seperti kebanyakan 0rang di kampung itu. Pemuda itu tak lain
adalah sepupunya yang berasal dari tanah kaloling, dimana kampung itu merupakan
tempat kelahiran bapaknya Masuara. Pemuda tersebut sementara menimbah ilmu pada
salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar Sulawesi selatan.
Lanjut ceritanya, jalinan cinta antara
Masuara dengan sepupunya semakin hari semakin melengket bagaikan prangko.
Justru itu kemana saja sepupunya itu pergi maka Masuara selalu ikut padanya..
Semisal sepupunya ke Sulawesi Tengah Masuara ikut kesana, ke Sulawesi Tenggara,
juga Masuara ikut, dan sebagainya.
Jalinan
cinta Masuara terhadap sepupunya tidak seindah dengan apa yang dibayangkan.
Biasnya jalinan cintanya dapat menimbulkan perseteruan dua kampung atau dua
kubu yang sesungguhnya berasal dari satu
keluarga. Semakin serunya, maka kedua kubu itu masing-masing berusaha untuk
memisahkan atau menghapus cintanya
Masuara terhadap sepupunya. Merka berusaha dengan caranya sendiri-sendiri.
Mereka juga mencari bantuan pada orang pintar di kampungnya masing-masing.
Boleh dikatan bahwa sudah habis semua orang pintar didatangi, sudah habis air
saktinya, sudah habis baca-bacanya. Namun tidak satupun yang mampu
memisahkannya berdua, malahan tambah melengket saja sehingga mereka semua
menjadi putus asa.Akhirnya salah satu diantara mereka memberikan nasihat bahwa
sekarang kita harus menghentikan segala upaya
memisahkan berdua karena seandainya ini adalah ajal maka waktunya memang
sudah tiba. Itu artinya bahwa upaya apapun yang kita lakukan hasil hanya
sia-sia belaka.
Oleh karena
itu, suhu perseteruan sudah sedikit redah, namun masalah belum kunjung selesai.
Hal itu dikarenakan sepupu Masuara baru saja tamat pendidikan sarjana dan belum
memiliki pekerjaan tetap. Kondisi demikian ini sempat dimanfaatkan oleh orang
tua Masuara dalam mempengaruhi anaknya untuk memutuskan cintanya pada sepupunya.Terlebih keadaan
ekonomi sepupunya Masuara sempat juga
menjadi pemicu dan berbuah senjata pamungkas orang tuanya dalam membujuk Masuara, dengan
mengatakan, mengapa kamu mau kawin dengan sepupumu padahal dia tidak punya
apa-apa, dia mau kasih makan kamu dengan apa, palingan kamu dikasih makan dengan batu-batu karena yang banyak dikampungnya
hanya batu-batu saja. Lebih baik kamu mengikuti tradisi orang tuamu, kamu akan
dijodohkan dengan orang berada yang tidak akan membuatmu susah dalam
kehidupanmu kelak.
Bujuk rayuan orang tua Masuara
tidak mendapatkan simpati, justru tipu daya Masuara yang berhasil. Yakni
Masuara pura-pura mau pergi ke pesta sehingga minta uang dan membawa pakaian
yang cukup, padahal rencananya mau kabur dari rumah. Jadi pada wakru pesta di
Palangka itu selesai maka Masuara
berpesan pada kemanakannya yang bernama Suarni bahwa dirinya belum mau pulang
sekarang karena mau ketemu dengan tante
di Barae. Oleh karena itu, pulang saja kita duluan dan sampaikan pesan
ini pada orang tua di rumah ( di Nangkae). Kemanakan Suarni, percaya saja apa
yang disampaikan oleh Masuara. Akhirnya sama-sama keluar dijalanan menunggu mobil, suarni
menunggu mobil ke arah Nangakae sedangkan Masuara menunggu mobil kearah kota
Sinjai. Beberapa jam kemudian Suarni tiba di Nangkae tetapi Masuara tidak singgah
di Sinjai atau Barae sebagaimana yang dia pesankan, tetapi dia langung ke Bajoe
tempat very menyebrang ke Sulawesi Tenggara. Ternyata Masuara punya niatan
untuk ketemu dengan sepupunya di Kendari.
Orangtua Masuara semakin jengkel,
membrontak, dan semakin tidak mampu menahan rasa malunya terhadap pemuda itu.
menurutnya begitu banyak sisi kebaikan pemuda itu yang tidak berdaya untuk
membalasnya. Dalam hatinya berkata , Masuara anak tidak tau diuntung dan tidak
tau menghargai orang tua. Mau jadi apa nanti orang yang seperti itu.
Orang tua sudah bersusah payah untuk mencarikan kebaikan tetapi dia meningalkannya
begitu saja.
Sungguh sangat disayangkan dan
sudah sangat terlambat, karena situasinya seprti itu, barulah datang dari pihak
pemuda itu untuk melamar Masuara. Makanya itu, orang tua Masuara hanya
menyampaikan bahawa mungkin tidak ditakdirkan untuk berjodoh anak kita karena
Masuara sekarang sudah tidak ada di rumah dia sudah berada di kampung lain. Maka
pada saat itu, berhentilah niatan pemuda tersebut untuk memdambakan Masuara.
Artinya bahwa tradisi itu tidak mampu mengikat cintanya Masuara.
Dalam pada itu, setelah sepupu
Masuara terangkat menjadi pns, maka diantarlah
Masuara pulang ke kampung dan sekaligus langsung dilamar. Namun lamaran
itu tidak berjalan mulus, terjadi masalah yang hampir membatalkan rencana
pelamaran itu. untung saja, orang tua sepupu Masuara yang tidak lain adalah
saudara tertua orang tua Masuara yang selama ini sangat dihargainya. Padanya
tetap memaksakan untuk mengadakan pesta itu dengan alasan bahwa memang
mempunyai niat unruk menjodohkan dari salah satu anaknya. Oleh karena itu pesta
tetap harus dilangsungkan meskipun kedua orang tua Masuara kurang
menyetujuinya. Ibunya telah terlebih dahulu meninggalkan kampung ke Sulawesi
Tengah, sedangkan bapaknya telah menyerahkan haknya ke orang lain untuk
mengurusnya.
Pada akhirnya, pesta itu
dilangsung dengan meriah di rumah
Masuara yang terletak di desa Biji Nangka kecamatan Sinjai borong yang dulunya
dikenal dengan kampung bohong. Dan sekarang Masuara hidup bahagia bersama
dengan suaminya dan dua orang gadisnya di jantung kota Kendari Sulta.
Wassalam