Selayang
Pandang Kaloling
Sinjai Timur Kab. Sinjai
Oleh : A. Rauf TM Psanre MA
Kaloling adalah sebuah nama tempat
yang diambil dari tanda lambang atau bendara pejuang tanah Kaloling pada
masa lalu. Dimana salah satu gambar yang ada pada bendera tersebut yakni gambar
naga yang bentuknya menyerupai ekor panjang dan dipahami oleh mereka bahwa salah satu sifat
ekor itu selalu ‘loli atau mappalolli’ artinya berdiri melenkung ketika
berlari. Hal inilah yang menginisiasi mereka sehingga bersepakat menentukan nama
tersebut dengan nama Kaloling, kemudian selanjutnya menjadikannya nama Kampung yaitu
Kampung Kaloling.
Secara
geografi, kampung Kaloling atau tanah Kaloling itu termasuk bagian wilayah
perkampungan yang terletak diwilayah bagian timur Kabupaten Sinjai, Sulawesi
Selatan, Indonesia. Tepatnya berada sebelumnya pada wilayah atau bagian kawasan desa saukang dan termasuk wilayah
kekuasaan Bulo-Bulo. Tellunlimpoe pada
zaman dahulu.
Selanjutnta, kalaulah
kita menelusuri secara detail tentang asal
muasal terbentuknya desa Kaloling ini, maka
akan diketahui dengan pasti bahwa
tanah Kaloling pada mulanya hanya merupakan sebuah wilayah pemukiman yang
disebut dengan” kampung”, dengan struktur pemerintahannya hanya disebut ‘Ade.”
Pemerintahan dalam kategori Ade ini menjadi panutan masyarakat Kaloling Sinjai
timur kabupataen Sinjai. Tata kehidupan seperti demikian tersebut berakhir dan
beralih menjadi ‘Arung’ setelah selesainya dibangun Sao Rajae di Bulo-Bulo.
Pembangunan Sao
Rajae di Bulo-Bulo menurut sejarahnya adalah diprakarsai dan dibangun oleh Masyarakat Kaloling. Hal tersebut merupakan salah satu
bukti kedekatan antara Bulo-Bulo dengan Kaloling. Keberadaan Ade Kaloling di
wilayah Bulo-Bulo tersebut sekaligus menjadikan Bulo-Bulo semakin disegani dan
diperhitungkan oleh semua raja-raja baik dari Sinjai sendiri maupun dari luar
Sinjai. Apatah lagi panglima perang Arung atau Raja Bulo-Bulo berasal dari tanah
Kaloling, diantaranya adalah panglima perang Puang Timo Daeng Mamajeng dan
sebagainya.
Tanah Kaloling
Sinjai Timur, ketika itu sesungguhnya masih tergolong kelompok komunitas suku bugis minoritas di Tanah Sinjai
Khususnya Sinjai Timur. Namun tata pemrintahannya sudah diperintah atau dipimpin oleh seorang yang diberi gelar Arung. Untuk
itu, maka model pemerintahannya bisa dipadankan dengan level yang setingkat
dengan kecamatan atau kabupaten pada struktur
pemerintahan sekarang yang dikepalai
oleh kepala kecamatan atau kepala daerah.
Setelah Negara kita
Indonesia tercinta ini merdeka, dan bentuk negaranya adalah republik, maka terjadi
perubahan-perubahan diberbagai aspek kehidupan di seluruh tanah air kita ini
tak terkecuali pembagian wilayah, juga perubahan struktur pemerintahan diseluruh
Indonesia termasuk di wilayah tanah Kaloling.
Perubahan struktur pemerintahan itu
pula, menyebabkan terjadinya peralihan atau perubahan nama dan wilayah
pemerintahan .Gelar Arung yang identik dengan turunan bangsawan bugis, terjadi
penyederhanaan istilah menjadi diksi-diksi yang dianggap lebih menasional.
Dengan demikian terbentuklah Kepala Kampung, kepala Desa, Kepala Kecamatan.
Desa Kaloling
yang terletak di kecamatan sinjai timur kabupaten sinjai ini, dahulunya desa
tersebut termasuk bagian kampung yang
wilayahnya berada pada Desa Saukang. Artinya, desa Kaloling tersebut
merupakan desa hasil pemekaran dari desa induk yakni desa saukang. Desa
Kaloling ini dimekarkan menjadi
sebuah desa dalam bentuk persiapan atau
desa persiapan. Dan perlu pula diketahui bahwa desa tersebut sebelumnya
termasuk komunitas masyarakat yang disebut dengan istilah “kampong” yaitu
Kampung Kaloling. Kampung tersebut
dipimpin oleh kepala kampung yang merupakan peralihan dari Arung Kaloling.
Dalam konteks ini dapat diketahui bahwa desa
Kaloling pada zaman dulu termasuk wilayah yang memiliki kelompok
raja-raja kecil yang dinahkodai oleh Arung. Buktinya,yakni adanya istilah yang biasa disebut orang-orang tua dulu,
seperti ada yang disebut Arung Jumati, Arung Semrima, Arung Fandi dan Arung tua
( Arung Matoa). Arung tua tersebut dipangku oleh Ambo Rehe, Setelah meninggal
dunia, lalu digantikan oleh Hammade, kemudian dilanjutkan oleh Puang pai daeng
Makketti.Kemudian beralih status menjadi lingkungan atau Kampung di pimpin oleh
Muhammad Aras. Pada pemerintahan Muhammad Aras, terjadi lagi peralihan status
dari Nama Kampung yang dikepalai oleh kepala kampung menjadi sebuah desa
persiapan yang di pimpin oleh kepala desa.
Desa Kaloling
sekarang sudah menjadi desa defenitif yang membawahi beberapa kepala lingkungan
atau dusun, yaitu : Dusun Kaloling,
Dusun Bainang, Dusun tellangnge atau Bonto Sumange, dan Dusun Bilalang.
Dusun-dusun tersebut diatas, dulunya hanya dikenal dengan tiga wilayah yaitu
wilayah bilalang, wilayah Kaloling utara (diahan dalam bahasa bugis), dan
wilayah kaloling selatan ( diattang dalam bahasa bugis).
Desa Kaloling
termasuk sebuah desa yang masyarakatnya bertipe pekerja keras. Hal itu disebabkan
karena kondisi alamnya yang sebagian
besar terdiri atas gunung batu hitam
yang tersebar di hampir semua permukaan tanah di daerah tersebut. Dengan
perkataan lain bahwa sebagian wilayahnya khususnya daerah bagian selatan
termasuk wilayah batu bertanah-tanah bukan tanah berbatu.batu. Dengan
medan yang bernuansa tropis seperti demikian ini, menyebabkan karakteristik
masyarakatnya bertype tempranental.Selain itu, pepohonan yang paling banyak
dijumpai di tanah Kaloling adalah pohon lomtarak(rautak). Hal tersebut,
dipahami oleh masyarakat Kaloling memiliki nilai historis. Masyarakat Kaloling
percaya bahwa semua tanah yang diatasnya tumbuh pohon lontarak (rauttak), maka
daerah tersebut pernah dikunjungi atau dikuasai
oleh Sultan Hasanuddin( pahlawan yang dikenal sebagai ayam jantang dari timur
oleh kompeni).
Masyarakat Kaloling
sejak dulu menjadikan pohon lontarak sebagai pohon yang dapat memproduksi sumber minuman
segar yang dapat menguatkan badan.
Khasiatnya begitu besar dirasakan,
khususnya para petani. Volume kerja
mereka meningkat setelah minum Ballo atau tuak dari lantarak tersebut. Hanya
saja, biasa ada yang menyalahgunakan minuman itu, yakni mabuk-mabukan bahkan
biasa ada yang baku tikam dan melakukan jallo akibat minuman tersebut..
Tidaklah rasanya
berlebihan bila diantara masyarakat Kaloling, ada yang bercerita bahwa dahulu
kalau musin kemarau tiba, maka sumur, sungai pada kering, tidak ada air
dimana-mana, jangankan untuk dimandi ,untuk diminum saja sangat susah. Maka
dalam pada itu masyarakat Kaloling ada yang memilih minum dan mandi dengan
menggunakan air Ballo atau tuak saja. Hal ini menunjukkan bahwa pada musin
kemarau merupakan puncak produksi Ballo atau tauk di tanah Kaloling. Maka masyarakat
Kaloling menjadi berlebihan mengkomsunsi minuman tersebut.
Disamping itu,
dalam versi yang berbeda diceritakan bahwa
pada tempo dulu kalau ada orang yang menyebut Kampung Kaloling Sinjai Timur
diluar daerah itu atau dirantauan, maka hal yang pertama ditanyakan orang tiada lain hanya tentang ballo atau tuak dan passigajaneng atau membunuhan dengan baku tikam. Jadi orang
orang-orang dulu banyak yang beranggapan atau mengidentikkan Kaloling Sinjai
timur dengan ballo atau tuak. Ada pula yang mengidentikkannya dengan
passigajaneng.
Paradigma
orang-orang diluar kampung Kaloling tersebut, mungkin merupakan bias dari setiap
kejadian demi kejadian yang sering terjadi di tanah Kaloling. Seperti,
pembunuhan Arung secara turun temurun, cerita orang-orang yang tinggal
dipinggir Kampung itu, yakni bahwa hampir setiap minggu atau bulan ada orang
Kaloling selesai baku tikam dibawa ke rumah sakit. Anehnya lagi, tempat baku
tikamnya berbeda-beda; ada di atas pohon lontar, ada dirumah ,ada di masjid,
ada disawah, ada dilapangan, dan lain sebagainya.
Perlu kiranya
diketahui bahwa, Kaloling sinjai timur yang sekarang sudah sangat jauh berbeda
dengan keadaan Kaloling tempo dulu. Kalau zaman dulu masyarakat tersebut
potensi sumber daya manusia dan manusianya terbilang sangat tertinggal dari
berbagai aspek kehidupan. Kegiatan masyarakatnya ketika itu lebih banyak berurusan
dengan pohon lontar atau membuat jalan ke pohon lontar yang mengarah kepada kemaksiatan
ketimbang ke tempat yang ma’’ruf, seperti tempat ibadah atau masjid, dan
sebagainya. Hal ini merupakan bias dari kejahilian atau kebodohan mereka. Bukti
kejahilian atau kebodohan itu, yakni masyarakat kaloling sangat hafal pepatah
bugis, bahwa “seddi laleng tepedding diolah yanaritu lalengna passarie”(satu-satunya
jalan yang tidak boleh dilalui yakni jalannya tukang membuat Ballo). Masyarakat Kaloling hampir semua telah
mendapat pesan itu, akan tetapi sangat sedikit diantara mereka yang
merealisasikannya dalam praktik hidup dan kehidupannya. Malahan yang mereka
lakukan justru sebaliknya. Maka sekarang Masyarakatnya sudah banyak yang
berpendidikan, pengusaha, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menjadi
tanda ada upaya yang mengarah kepeningkatan status sosial dalam hidup dan
kehidupannya. Disamping itu, pola pikir masyarakatnya sudah banyak yang berubah
dan sudah tergolong maju. Mereka sudah banyak yang paham arti dan tujuan kehidupan
didunia ini. Seperti yang dijelaskan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an yang
maknanya sebagai berikut; “Dan tidak diciptakan jin dan manusia oleh Allah SWT
kecuali untuk mengabdi kepadaNya”. Dalam konteks tersebut maka masyarakat
Kaloling secara beransur-ansur meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang
telah lakukan pada masa lalu.
Dengan demikian,
masyarakat Kaloling tengah berbenah diri menbangun kehidupannya terutama kehidupan
keagamaan. Disisi lain hambatan dan tantangan silih berganti. Sisa-sisa praktik
TBC ( tahayyul, bid’ah, dan Churafaat) belum steril datang lagi paham-paham baru yang inti ajaran
tidak sejalan denggan ajaran Islam sesungguhnya. Paham-paham berupa tarekat dan
aliran-aliran membuat masyarakat Kaloling berada diambang perpecahan dan
ukhuwah ternodai. Faktor penyebabnya tiada lain adalah bias dari komitmen
pendiriannya terhadap pahamnya masing-masing.
Mungkin disinilah
perlunya mengungkap sejarah kehidupan keagamaan di tanah Kaloling pada masa
silang dengan maksud untuk mereviw memori masyarakat Kaloling tentang kehidupan
keagamaan tersebut. Sejarah telah mencatat bahwa masyarakat Kaloling pada awal
mulanya memiliki paham animisme, kemudian masuk pengaruh Hindu dan Budha, dan
terakhir pengaruh Islam. Bukti-bukti sejarahnya dapat diketahui denggan adanya
tempat-tempat penyembahan ditanah Kaloling, seperti puallohe, panggo, puang Kalibaringen,
puan bombang,batu lohongnge, addemmeng
lohee, dan lain sebagainya, termasuk adanya kuburan biksu di daerah tersebut.
Bukti-bukti
demikian tersebut, masyarakat Kaloling harus memahaminya secara saksama karena
masyarakat Kaloling sekarang sudah seratus persen memeluk agama Islam.
Masyarakat Kaloling harus memastikan bahwa sisa-sisa ajaran non Islam tersebut
ditanah Kaloling sudah dibersihkan oleh
ajaran Islam yang sesungguhnya. Ajaran Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadits dan mempraktikkannya
sesuai denggan apa yang telah dipraktikkan Oleh Nabi Muhammad SAW., bukan paham
lain yang praktiknya bertentangan dengan
kaidah fiqh dan tidak sejalan dengan syariat Islam.