Kamis, 17 Juli 2014

Selayang pandang Tanah Kaloling Sinjai Timur Kab Sinjai


            Selayang Pandang  Kaloling
            Sinjai Timur Kab. Sinjai
                                    Oleh : A. Rauf TM Psanre MA


 Kaloling adalah sebuah nama  tempat  yang diambil dari tanda lambang atau bendara pejuang tanah Kaloling pada masa lalu. Dimana salah satu gambar yang ada pada bendera tersebut yakni gambar naga yang bentuknya menyerupai ekor panjang dan  dipahami oleh mereka bahwa salah satu sifat ekor itu selalu ‘loli atau mappalolli’ artinya berdiri melenkung ketika berlari. Hal inilah yang menginisiasi  mereka sehingga bersepakat menentukan nama tersebut dengan  nama Kaloling, kemudian  selanjutnya menjadikannya nama Kampung yaitu Kampung Kaloling.
  Secara geografi, kampung Kaloling atau tanah Kaloling itu termasuk bagian wilayah perkampungan yang terletak diwilayah bagian timur Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, Indonesia. Tepatnya berada sebelumnya pada wilayah atau bagian  kawasan desa saukang dan termasuk wilayah kekuasaan Bulo-Bulo. Tellunlimpoe pada  zaman dahulu.
Selanjutnta, kalaulah kita menelusuri  secara detail tentang asal muasal terbentuknya desa Kaloling ini, maka  akan diketahui  dengan pasti bahwa tanah Kaloling pada mulanya hanya merupakan sebuah wilayah pemukiman yang disebut dengan” kampung”, dengan struktur pemerintahannya hanya disebut ‘Ade.” Pemerintahan dalam kategori Ade ini menjadi panutan masyarakat Kaloling Sinjai timur kabupataen Sinjai. Tata kehidupan seperti demikian tersebut berakhir dan beralih menjadi ‘Arung’ setelah selesainya dibangun Sao Rajae di Bulo-Bulo.
Pembangunan Sao Rajae di Bulo-Bulo menurut sejarahnya adalah diprakarsai dan dibangun oleh  Masyarakat  Kaloling. Hal tersebut merupakan salah satu bukti kedekatan antara Bulo-Bulo dengan Kaloling. Keberadaan Ade Kaloling di wilayah Bulo-Bulo tersebut sekaligus menjadikan Bulo-Bulo semakin disegani dan diperhitungkan oleh semua raja-raja baik dari Sinjai sendiri maupun dari luar Sinjai. Apatah lagi panglima perang Arung atau Raja Bulo-Bulo berasal dari tanah Kaloling, diantaranya adalah panglima perang Puang Timo Daeng Mamajeng dan sebagainya.
Tanah Kaloling Sinjai Timur, ketika itu sesungguhnya masih tergolong kelompok komunitas  suku bugis minoritas di Tanah Sinjai Khususnya Sinjai Timur. Namun tata pemrintahannya sudah diperintah atau dipimpin  oleh seorang yang diberi gelar Arung. Untuk itu, maka model pemerintahannya bisa dipadankan dengan level yang setingkat dengan kecamatan atau kabupaten  pada struktur pemerintahan  sekarang yang dikepalai oleh kepala kecamatan atau kepala daerah.
Setelah  Negara kita  Indonesia tercinta ini merdeka, dan bentuk  negaranya adalah republik, maka terjadi perubahan-perubahan diberbagai aspek kehidupan di seluruh tanah air kita ini tak terkecuali pembagian wilayah, juga perubahan struktur pemerintahan diseluruh Indonesia termasuk di wilayah tanah Kaloling.
            Perubahan struktur pemerintahan itu pula, menyebabkan terjadinya peralihan atau perubahan nama dan wilayah pemerintahan .Gelar Arung yang identik dengan turunan bangsawan bugis, terjadi penyederhanaan istilah menjadi diksi-diksi yang dianggap lebih menasional. Dengan demikian terbentuklah Kepala Kampung, kepala Desa, Kepala Kecamatan.
Desa Kaloling yang terletak di kecamatan sinjai timur kabupaten sinjai ini, dahulunya desa tersebut termasuk bagian kampung yang  wilayahnya berada pada Desa Saukang. Artinya, desa Kaloling tersebut merupakan desa hasil pemekaran dari desa induk yakni desa saukang. Desa Kaloling ini  dimekarkan menjadi sebuah  desa dalam bentuk persiapan atau desa persiapan. Dan perlu pula diketahui bahwa desa tersebut sebelumnya termasuk komunitas masyarakat yang disebut dengan istilah “kampong” yaitu Kampung Kaloling. Kampung  tersebut dipimpin oleh kepala kampung yang merupakan peralihan dari Arung Kaloling. Dalam konteks ini dapat diketahui bahwa desa  Kaloling pada zaman dulu termasuk wilayah yang memiliki kelompok raja-raja kecil yang dinahkodai oleh Arung. Buktinya,yakni adanya istilah  yang biasa disebut orang-orang tua dulu, seperti ada yang disebut Arung Jumati, Arung Semrima, Arung Fandi dan Arung tua ( Arung Matoa). Arung tua tersebut dipangku oleh Ambo Rehe, Setelah meninggal dunia, lalu digantikan oleh Hammade, kemudian dilanjutkan oleh Puang pai daeng Makketti.Kemudian beralih status menjadi lingkungan atau Kampung di pimpin oleh Muhammad Aras. Pada pemerintahan Muhammad Aras, terjadi lagi peralihan status dari Nama Kampung yang dikepalai oleh kepala kampung menjadi sebuah desa persiapan yang di pimpin oleh kepala desa.
Desa Kaloling sekarang sudah menjadi desa defenitif yang membawahi beberapa kepala lingkungan atau dusun, yaitu :  Dusun Kaloling, Dusun Bainang, Dusun tellangnge atau Bonto Sumange, dan Dusun Bilalang. Dusun-dusun tersebut diatas, dulunya hanya dikenal dengan tiga wilayah yaitu wilayah bilalang, wilayah Kaloling utara (diahan dalam bahasa bugis), dan wilayah kaloling selatan ( diattang dalam bahasa bugis).
Desa Kaloling termasuk sebuah desa yang masyarakatnya  bertipe pekerja keras. Hal itu disebabkan karena kondisi alamnya  yang sebagian besar terdiri atas  gunung batu hitam yang tersebar di hampir semua permukaan tanah di daerah tersebut. Dengan perkataan lain bahwa sebagian wilayahnya khususnya daerah bagian  selatan  termasuk wilayah batu bertanah-tanah bukan tanah berbatu.batu. Dengan medan yang bernuansa tropis seperti demikian ini, menyebabkan karakteristik masyarakatnya bertype tempranental.Selain itu, pepohonan yang paling banyak dijumpai di tanah Kaloling adalah pohon lomtarak(rautak). Hal tersebut, dipahami oleh masyarakat Kaloling memiliki nilai historis. Masyarakat Kaloling percaya bahwa semua tanah yang diatasnya tumbuh pohon lontarak (rauttak), maka daerah tersebut  pernah dikunjungi atau dikuasai oleh Sultan Hasanuddin( pahlawan yang dikenal sebagai ayam jantang dari timur oleh kompeni).
Masyarakat Kaloling sejak dulu menjadikan pohon lontarak sebagai  pohon yang dapat memproduksi sumber minuman segar yang  dapat menguatkan badan. Khasiatnya  begitu besar dirasakan, khususnya para  petani. Volume kerja mereka meningkat setelah minum Ballo atau tuak dari lantarak tersebut. Hanya saja, biasa ada yang menyalahgunakan minuman itu, yakni mabuk-mabukan bahkan biasa ada yang baku tikam dan melakukan jallo akibat minuman tersebut..
Tidaklah rasanya berlebihan bila diantara masyarakat Kaloling, ada yang bercerita bahwa dahulu kalau musin kemarau tiba, maka sumur, sungai pada kering, tidak ada air dimana-mana, jangankan untuk dimandi ,untuk diminum saja sangat susah. Maka dalam pada itu masyarakat Kaloling ada yang memilih minum dan mandi dengan menggunakan air Ballo atau tuak saja. Hal ini menunjukkan bahwa pada musin kemarau merupakan puncak produksi Ballo atau tauk di tanah Kaloling. Maka masyarakat Kaloling menjadi berlebihan mengkomsunsi minuman tersebut.
Disamping itu, dalam versi yang berbeda diceritakan  bahwa pada tempo dulu kalau ada orang yang menyebut Kampung Kaloling Sinjai Timur diluar daerah itu atau dirantauan, maka hal yang pertama ditanyakan orang  tiada lain hanya tentang  ballo atau tuak dan passigajaneng atau  membunuhan dengan baku tikam. Jadi orang orang-orang dulu banyak yang beranggapan atau mengidentikkan Kaloling Sinjai timur dengan ballo atau tuak. Ada pula yang mengidentikkannya dengan passigajaneng.
Paradigma orang-orang diluar kampung Kaloling tersebut, mungkin merupakan bias dari setiap kejadian demi kejadian yang sering terjadi di tanah Kaloling. Seperti, pembunuhan Arung secara turun temurun, cerita orang-orang yang tinggal dipinggir Kampung itu, yakni bahwa hampir setiap minggu atau bulan ada orang Kaloling selesai baku tikam dibawa ke rumah sakit. Anehnya lagi, tempat baku tikamnya berbeda-beda; ada di atas pohon lontar, ada dirumah ,ada di masjid, ada disawah, ada dilapangan, dan lain sebagainya.
Perlu kiranya diketahui bahwa, Kaloling sinjai timur yang sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan keadaan Kaloling tempo dulu. Kalau zaman dulu masyarakat tersebut potensi sumber daya manusia dan manusianya terbilang sangat tertinggal dari berbagai aspek kehidupan. Kegiatan masyarakatnya ketika itu lebih banyak berurusan dengan pohon lontar atau membuat jalan ke pohon lontar yang mengarah kepada kemaksiatan ketimbang ke tempat yang ma’’ruf, seperti tempat ibadah atau masjid, dan sebagainya. Hal ini merupakan bias dari kejahilian atau kebodohan mereka. Bukti kejahilian atau kebodohan itu, yakni masyarakat kaloling sangat hafal pepatah bugis, bahwa “seddi laleng tepedding diolah yanaritu lalengna passarie”(satu-satunya jalan yang tidak boleh dilalui yakni jalannya tukang membuat Ballo).  Masyarakat Kaloling hampir semua telah mendapat pesan itu, akan tetapi sangat sedikit diantara mereka yang merealisasikannya dalam praktik hidup dan kehidupannya. Malahan yang mereka lakukan justru sebaliknya. Maka sekarang Masyarakatnya sudah banyak yang berpendidikan, pengusaha, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menjadi tanda ada upaya yang mengarah kepeningkatan status sosial dalam hidup dan kehidupannya. Disamping itu, pola pikir masyarakatnya sudah banyak yang berubah dan sudah tergolong maju. Mereka sudah banyak yang paham arti dan tujuan kehidupan didunia ini. Seperti yang dijelaskan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an yang maknanya sebagai berikut; “Dan tidak diciptakan jin dan manusia oleh Allah SWT kecuali untuk mengabdi kepadaNya”. Dalam konteks tersebut maka masyarakat Kaloling secara beransur-ansur meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah lakukan pada masa lalu.
Dengan demikian, masyarakat Kaloling tengah berbenah diri menbangun kehidupannya terutama kehidupan keagamaan. Disisi lain hambatan dan tantangan silih berganti. Sisa-sisa praktik TBC ( tahayyul, bid’ah, dan Churafaat) belum steril  datang lagi paham-paham baru yang inti ajaran tidak sejalan denggan ajaran Islam sesungguhnya. Paham-paham berupa tarekat dan aliran-aliran membuat masyarakat Kaloling berada diambang perpecahan dan ukhuwah ternodai. Faktor penyebabnya tiada lain adalah bias dari komitmen pendiriannya terhadap pahamnya masing-masing.
Mungkin disinilah perlunya mengungkap sejarah kehidupan keagamaan di tanah Kaloling pada masa silang dengan maksud untuk mereviw memori masyarakat Kaloling tentang kehidupan keagamaan tersebut. Sejarah telah mencatat bahwa masyarakat Kaloling pada awal mulanya memiliki paham animisme, kemudian masuk pengaruh Hindu dan Budha, dan terakhir pengaruh Islam. Bukti-bukti sejarahnya dapat diketahui denggan adanya tempat-tempat penyembahan ditanah Kaloling, seperti puallohe, panggo, puang Kalibaringen, puan bombang,batu lohongnge,  addemmeng lohee, dan lain sebagainya, termasuk adanya kuburan biksu di daerah tersebut.
Bukti-bukti demikian tersebut, masyarakat Kaloling harus memahaminya secara saksama karena masyarakat Kaloling sekarang sudah seratus persen memeluk agama Islam. Masyarakat Kaloling harus memastikan bahwa sisa-sisa ajaran non Islam tersebut ditanah Kaloling  sudah dibersihkan oleh ajaran Islam yang sesungguhnya. Ajaran Islam yang berlandaskan  al-Qur’an dan Hadits dan mempraktikkannya sesuai denggan apa yang telah dipraktikkan Oleh Nabi Muhammad SAW., bukan paham lain yang praktiknya  bertentangan dengan kaidah fiqh dan tidak sejalan dengan syariat Islam.

Selasa, 15 Juli 2014


Kaloling Sinjai timur Kabupaten Sinjai memahami “ ajaran  “ yang diperkiarkan aliran sesat
Oleh : Abd. Rauf TM Pasanre MA
Masyarakat Kaloling selain dikenal sebagai masyarakat pekerja keras dan sifat temperamental,  juga diikenal sebagai masyarakat yang cukup religi. Penghuni tanah Kaloling sejak dulu sudah ada yang menjadi penyiar agama, seperti Da’I, Ustaz, Qari/Qariah , dan lain sebagainya.  Diantaranya adalah Muhammad Yusuf Salihah almarhum dan almarhumah) sebagai guru penerjemah al-Quran, Ustaz Ali Taba (almarhum) sebagai Da’I atau juru dakwah yang cukup  ekstrim ditanah Kaloling pada masanya, M.  Yahya Tappa sebagai guru agama yang pada sanggat paham tentang ilmu agama (murid dari sebutan kali balangnipa penyiar agama di Sinjai bahkan diluar sinjai), M. Rusdiawan sebagai Qari Nasianal, yang mulia H.Mappanyompa  sebagai dokter di tanah Suci Mekah, dan lain seterusnya.
Kalau kita membaca deretan nama masyarakat Kaloling tersebut,mungkin saja yang timbul  dipikiran kita bahwa ternyata  komunitas masyarakat tersebut sejak dulu telah memiliki sumber manusia yang memiliki kualitas keagamaan yang cukup tingggi. Mungkin juga benak kita mengarah kepada suatu realitas keberhasilan membina masyarakat Kaloling terutama pada aspek keagamaan yang sudah sangat matan. Mungkin juga ada yang beranggapan bahwa masyarakat tanah Kaloling sudah  memiliki nuansa keagamaan yang kondusif. Namun realitasnya masih jauh dari harapan. kesennjanggan antara harapan dan kenyataan atau belum  sinkronnya´ das sein dan “das solllen”.
Masyarakat  tanah Kaloling sekarang ini dilanda bencana besar, yakni terkena erosi akidah. Akibatnya banyak masyarakat kaloling yang memilih paham-paham yang disinyalir paham tersebut masuk kategori aliran yang menyesatkan.’Nauzubillahi minzalik”.  Dosa  apakah yang pernah dilakukan masyarakat kaloling sampai membuat akidahnya terkikis dan ketauhidannya menjadi luntur dan hilang sama sekali. Petaka besar terjadi ketika terhapusnya kecintaan seorang hamba terhadap Tuhannya hanya karena dimming-immingi soal harta atau kekayaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecintaan terhadap materi masih lebih dominan dibandingkan dengan kecintaannya terhadap Allah SWT.
Kikisan akidah yang terjadi pada masyarakat Kaloling membuatnya berani membanth Al-Qu;an dan Hadits. Mereka tidak mengakui sebagian kaidah-kaidah fiqhi. Buktinya mereka mengharamkan yang dihalalkan dan sebaliknya. Mereka  mengaku Islam tetapi praktik pengabdian yang dilaksanakan sangat berbeda dengan praktik pengabdian yang dilaksanakan oleh umat Islam. Semisal rukun Islan yang terdiri atas lima perkara, sekaligus meupakan pondasi dibangunnya Islam itu menurut paham sebagian masyarakat Kaloling, dianggapnya bukan hal yang pokok  pada ajarannya. Disamping itu, pelaksanaan Shalat lima waktu yang merupakan kewajiban umat Islam, mereka mempraktikannya dengan bentuk yang berbeda.
Oleh karena itu, bilamana kita menelusuri secara saksama seluruh praktik ajarannya, maka sangatlah jelas bahwa tidak sama dengan Islam, sehingga cukup alasan untuk mengatakan bahwa bukan Islam. Pernyataan ini didasari oleh realitas aktivitas mereka sehari-hari. Keresahan demi keresahan terjadi di dalam masyarakat karena berada pada dua alternaif yang memaksanya untuk mmemilih salah satunya. Lebih tragis lagi, keretakan keluarga mengancam yakni suami, isteri dan anak akan memilih jalannya sendiri-sendiri. Dengan perkataan lain  harus menempuh jalur pintas berpisah atau bersatu paham.
Dalam kondisi dan situasi kehidupan keagamaan seperti saat ini, maka solusi yang terbaik  adalah  dengan jalan muhasabah. Masyarakat Kaloling  secara keseluruhan harus mengintropeksi dirinya tanpa terkecuali mulai dari pemerintah, masyarakat, tokoh agama, pendidik,  pemuda, organisasi, dan lain sebagainya.Dengan mereviw keberadaan dan fungsi konfonen tersebut, maka akan ditemukan titik lemah, kesalahan , dan temasuk sebab-sebabnya.
Oleh sebab itu eksistensi dan fungsi konfonen tersebut pula menjadi sesuatu yang sangat penting  dalam  menentukan warna masyarakat tanah  Kaloling pada saat sekarang . Harapannya agar semua konfonen masyarakat Kaloling memahami dirinya dan berusaha mmenciptakan keharmonisan dalam hidup dan kehidupannya. Sehingga Tanah Kaloling menjadi damai, tenteram, dan besatu seperti dahulu kala.
Masyarakat Kaloling sudah bukan pada saatnya berpikir tentang bagaimana konsep persatuan yang cocok diterapkan pada masyarakat itu. Akan tetapi sudah saatnya membuat dan melaksanakan semboyang yang dapat mempersatukan seluruh tanah Kaloling. Contoh Semboyangnya  seperti,” Kaloling  Bersaudara”, “Kaloling bersatu”,, dsb.
Masyarakat Kaloling sekarang juga, seharusnya jangan melupakan sejarah kehidupan masyarakatnya pada masa lalu. Begitu pula jangan terlalu cepat melupakan prinsip-prinsip kehidupan orang tua kita dulu diberbagai aspek kehidupan hanya dengan alasan sudah ketinggalan zaman, tidak level, dan kurang kompetitif.

Rabu, 09 Juli 2014

Tajwid dan kerbacaan alqur'an


EKSISTENSI TAJWID TERHADAP KETERBACAAN ALQURAN
 Oleh  : A Rauf pasanre
Untuk memahami al-Qur’an dari segi komposisi (huruf,kata,kalimat) maka tata cara pengucapan (tajwid) mutlak dipelajari oleh umat Islam. Dalam konteks ini, penguasaan mahraj,sifat,hak-hak huruf,mad dan sebagainya menjadi syarat utama kesempurnaan bacaan al-Qur’an. Selain itu, penguasaan unsure-unsur tajwid tersebut berkaitan langsung dengan arti atau makna ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca oleh Qori dan Qoriah. Dengan perkataan lain, kesempurnaan bacaan al-Qur’an yang dibaca oleh Qori dan Qoriah bergantung pada tingkat penguasaannya terhadap unsur-unsur tajwid tersebut.

Tajwid dan tilawah al-Qur’an tergolong dua alat ilmu untuk melengkapi al-Qur’an, dimana keberadaan keduanya terintegral. Tajwid berorientasi pada tata cara pengucapan ayat-ayat al-Qur’an, sedangkan tilawah al-Qur’an berorientasi pada cara membaca tata ara pengucapan ayat-ayat al-Qur’an. Namun demikian, kesempurnaan bacaan al-Qur’an yang dibaca oleh qori dan qoriah harus berada ketepatan kedua tataran pembacaan tersebut.
Selain itu, tajwid dan tilawah al-Qur’an dapat dikatakan berkaitan erat dengan Pendidikan Agama Islam (PAI). Alasannya, kesempurnaan pemahaman bacaan al-Qur’an sebagai landasan Pendidikan Agama Islam harus didukung oleh tajwid dan tilawah al-Qur’an.



-
Bidang studi al-Qur’an dan Hadits pada dasarnya bukan saja membahas al-Qur’an dan Hadits melainkan secara luas pada berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu bidang studi al-Qur’an dan Hadits dapat dikatakan bidang studi yang paling banyak memberikan konstribusi pada rumpun Pendidikan Agama Islam (PAI) dibandingkan dengan bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI) lainnya, seperti : Fiqh,Aqidah Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab.
Tilawah
Komponen penting dalam membaca al-Qur’an selain untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an lewat pembacaan, juga untuk perenungan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam hal ini pentingnya keberadaan tilawah al-Qur’an sebagai sarana untuk membaca tata cara pengucapan ayat-ayat al-Qur’an. Pembacaan (tilawah) yang sempurna memiliki daya tarik (nilai seni) luar biasa. Dengan demikian membawa pendengar pada situasi perenungan mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang sementara didengarnya.
1. al-Qur’an pada intinya berisi tiga induk ilmu. Ketiga induk dan dalam al-Qur’an  yaitu : Tauhid, Tadzkir (peringatan), dan hokum. Dengan demikian, maka al-Qur’an menjadi pedoman hidup bagi orang mukmin.
2. perkataan al-Qur’an berbeda dengan perkataan lain, bahkan dengan kitab-kitab yang turun sebelumnya. Ucapan-ucapan al-Qur’an mempunyai makna dan pengaruh yang luar biasa orang mukmin, karena ia sebagai system dan mukjizat yang menjadi petunjuk,penawar,dan rahmat bagi manusia.
3. kata al-Qur’an termasuk sebuah komponen bunyi bahasa dalam bentuk teks atau kata (tulisan) yang mengandung makna. Kata (tulisan) tersebut dilafadzkan (diucapkan) sebagai bacaan. Bahkan salah satu pengertian al-Qur’an itu sendiri yakni bacaan.
Salah satu bukti keberkatan al-Qur’an yang tak terhingga yaitu mampu mempersatukan umat. Kesederhanaan al-Qur’an pada aspek tata cara pembacaannya, dapat menghilangkan perbedaan-perbedaan yang bakal terjadi diantara bangsa-bangsa yang hidup berdampingan. Begitu pula, pengaruh pengaruh al-Qur’an tidak terbatas pada aspek yang bersifat lahiriah, melainkan sampai pada aspek yang bersifat bathiniah. Menurut penulis,
Al-Qur’an dalam konteks ini dapat menjadi symbol persatuan dan menyelamatkan umat, siapapun yang ingin masuk islam dengan salawat dua dan akhirat pasti belajar al-Qur’an
Penulis, al-Qur’an tidak mungkin dapat dipahami secara jelas, jika hanya berpedoman pada terjemahannya saja. Mengingat al-Qur’an itu komponennya huruf,kata dan kalimat. Dimana dalam komponen-komponen tersebut mempunyai tata aturan. Yang berkaitan dengan arti atau makna bacaan. Ketika tata aturan tidak terpenuhi dengan sendirinya makna bacaan menjadi kurang jelas. Oleh karena itu sangat dibutuhkan ilmu penyaring, diantaranya tajwid, tilawah al-Qur’an, dan sebagainya.

Terbentuknya Kerajaan TellullimpoE


TERBENTUKNYA KERAJAAN TELLU LIMPOE
A.     Asal Mula Istilah Tellu Limpoe dan Wilayah Kerajaanya
            Tellu Limpoe adalah suatu federasi kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan yang dalam proses sejarah kurang lebih empat abad yang silam. Kini wilayahnya menjadi suatu Kabupaten yaitu Kabupaten Sinjai.
            Federasi Tellu Limpoe secara etimologis terdiri atas dua kata yaitu Tellu yang berarti Tiga, dan Limpoe (Limpu) yang berarti Tempat. Federasi ini merupakan daerah atau wilayah pemerintahn seorang Arung atau Raja. Kerajaan Tellu Limpoe meliputi tiga buah kerajaan otonom yang mempunyai perserikatan.
            Ketiga kerajaan yang dimaksud di atas adalah: Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti  yang didirikan oleh Tomanurung. Ia adalah Manurunge Ri Ujung Lohe sekitar abad ke-13. Dalam Lontara Bulo-Bulo disebutkan bahwa:
todo, bulo-bulo, lmti eaeReG mpju teR etlu liPoea. emeR mbho bulu dtu tueKea ri brieG.
 “Tondong, Bulo-Bulo, Lamatti Enrenge Mappajung Tanre Tellu Limpoe Menre Mabbaho Bulu Datu TungkeE ri Baringeng.”

            Dari kata-kata “Datu TungkeE ri Baringeng” terungkap bahwa selain wilayah Tellu Limpoe di atas, masih ada lagi suatu wilayah pesisir yang sangat luas mulai dari sebelah selatan sungai Sinjai membujur ke selatan sampai ke Ujung Lohe yang mempunyai nilai strategis sepanjang sejarah Teluk Bone. Tercatat pula Lakowa dalam Lontara Bulo-Bulo, ia adalah Datue ri Baringeng yang merupakan leluluhur Kerajaan Tellu Limpoe.
            Wilayah pesisir ini pulalah yang merupakan sumber utama penghasilan para punggawa dan pabbaraninya Kerajaan Tellu Limpoe, dimana kondisi lingkungan pesisir sebagai Kerajaan Maritim yang penuh dengan dinamika kehidupan dan sikap terbuka sebagai pelaut dan nelayan setiap hari bergelut dengan tantangan alam yang terus menerus bergelora.
            Dalam perjalanan sejarah yang panjang tercatat dalam lontara Bulo-Bulo bahwa Kerajaan Tellu Limpoe telah mengalami percaturan kekuasaan antar kerajaan-kerajaan Tellu Poccoe. Khususnya perebutan hegemoni antara Gowa dan Bone pada abad ke-16 dan ke-17 termasuk memperebutkan wilayah dan dominasi atas Kerajaan Tellu Limpoe. Hal ini disebabkan karena Kerajaan Tellu Limpoe mempunyai nilai strategis dalam ekonomi dan politik di Teluk Bone, seperti halnya ambisi Belanda untuk menguasai kerajaan Tellu Limpoe.
            Bagaimana dengan terbentuknya kerajaan Tellu Limpoe? Kerajaan Tellu Limpoe yang meliputi daerah Kabupaten Sinjai sekarang ini, diperkirakan telah terbentuk sejak pertengahan abad ke-16, atas keputusan bersama antara Raja Tondong VII (Iyottong Daeng Marumpa), raja Bulo-Bulo (Lamappasoko Lari Manoe Tanru’na), dan Raja Lamatti (La Padenring Tadangpalie) atas anjuran La Tenri Rawe Bongkange Matinroe ri Gucina Raja Bone VII. Keputusan bersama tersebut ditandai dengan batu peringatan yang lebih dikenal dengan istilah “Lamung Patue ri Topekkong” sekitar tahun 1564, yang artinya sebagai berikut:
Lamung           : memasukkan ke dalam lubang kemudian ditimbuni    dengan tanah.
Patu                 : berasal dari kata batu yang sifatnya keras tapi dapat hancur (lapuk) dan bersatu dengan tanah.
Topekkong      : terdiri dari dua kata, To-Tau berarti orang, dan Pekkong yang berarti bengkok

Maksudnya adalah hilangkan segalah kekerasan yang dapat merusak dan memecah belah persatuan kesatuan. Adapun isi perjanjian tersebut sebagai berikut:
mduem tosipllo, mebel tEsipsoro. sEEEEEEEEdi pbnua pd riapunai, asEp mapens.
sisper edec, tEsisprE j. mlilu sipkiaiGE, erb siptoko, mli siprep.
sini emeR etsini mno mleP tERi polo, mpoCo tERi sbuGi.

Maddumme tosipalallo, mebbelle tessi pasoro. Seddi pabbanua pada riappunai, lempa asepa mappanessa.
Sisappareng deceng, tessisappareng ja’. Malilu sipakainge, rebba sipatokkong, mali siparappe.
Sini manre tessini mano malampe tenri polo, maponco tenri sambungi

Maksudnya adalah:
Rakyat masing-masing kerajaan (Tondong, Bulo-Bulo, Lamatti) bebas memilih tempat pemukiman begitupula mencari penghidupan (bertani atau bercocok tanam). Sesungguhnya rakyat hanya satu, rakyat Tellu Limpoe. Hanya yang membedakan adalah arah mana ia bawa hasil padinya.
Saling ingat memperingati, bantu membantu dalam kebaikan dan tidak saling mencari kekurangan diantara mereka agar tidak timbul perpecahan.

Dengan keputusan bersama tersebut maka terbentuklah apa yang dinamakan kerajaan Tellu Limpoe  yang dalam perkembangannya erat kaitannya dengan Kerajaan Bone, baik karena hubungan geologis bagi raja-raja yang memerintahdi kedua kerajaan tersebut maupun karena hubungan di antara kerajaan yang bertetangga.
            Kerajaan Tellu Limpoe merupakan sahabat dari kerajaan dan merupakan batu penghalang bagi kerajaan Gowa sebelum langsung menyerang Bone. Dalam Lontara Bulo-Bulo dikatakan bahwa Kerajaan Tellu Limpoe  merupakan kerajaan “palili passiajing”dengan kerajaan Bone.
            Pada masa pemerintahan raja Gowa X Lapakkoko Topabbele serta panglima perangnya La Mungkace Taudamang menyerang Kerajaan Tellu Limpoe, kendati kerajaan Tellu Limpoe dibawah rajanya masing-masing  Raja Tondong (Iyottong Daeng Marumpa), raja Bulo-Bulo (Lamappasoko Lari Manoe Tanru’na), dan Raja Lamatti (La Padenring Tadangpalie) dengan segalah keberanian dan usahanya untuk membendung serangan Gowa dan Wajo ini tidak berhasil menyebabkan kerajaan tersebut menyerah pada tahun 1564. Namun kekalahan ini tidaklah berarti bahwa kerajaan Gowa telah berhasil, karena ternyata peperangan berlangsung terus menerus dengan kerajaan Bone. Pada saat itu kerajaan Bone di bawah pimpinan raja Bone VII La Tenri Rawe Bongkange Matinroe ri Gucinna.
            Kerajaan Bone memasuki tahap baru dalam hubungan diplomasi. Terjadi perjanjian perdamaian yang disebut perjanjian Caleppa tahun 1565 yang merupakan pembaharuan dari perjanjian yang pertama anatara antara Gowa dan Bone. Yang memprakarsai perjanjian ini adalah Kajaolaliddo dari Bone dan Mangkubumi Kerajaan Gowa I Mappatakatana daeng Padulung yang merangkap sebagai Raja Tallo.
            Adapun isi perjanjian Caleppa itu adalah sebagai berikut:
1.      Bone meminta kemenangan-kemenangan, yaitu kepadanya harus diberikan daerah-daerah samapai ke sungai Walanae di sebelah barat dan sampai di daerah Ulaweng di sebelah utara.
2.      Sungai Tangka (terletak diperbatasan Bone dan Sinjai) akan menjadi perbatasan daerah kekuasaan Bone dan daerah kekuasaan Gowa, yaitu: di sebelah utara masuk Bone dan di sebelah selatan masuk Gowa.
3.      Supaya negeri Cenranae  masuk daerah kekuasaan Bone karena dahulu Cenranae memang telah ditaklukkan oleh raja Bone “Latenri Sukki Mappajunge” raja Bone V, yaitu sebagai hasil peperangan melawan raja Luwu yang bernama “Raja Dewa” yang sekian lama menguasai daerah Cenranae.
Berdasarkan perjanjia Caleppa maka kerajaan Tellu Limpoe secara de fakto dan jure masuk pengaruh kerajaan Gowa. Karena itu sekian lama kerajaan Tellu Limpoe adalah kerajaan yang banyak berhubungan Kerajaan Bone karena hungan palili passiajing, maka sesudah perjanjian Caleppa Kerajaan Tellu Limpoe menjadi Kerajaan palili dari Kerajaan Gowa.
            Pada masa itu timbul perjanjian persahabatan yang sangat akrab antara Kerajaan Tellu Limpoe yang diwakili oleh Lamappasoko Lari Manoe Tanru’na Raja Bulo-Bulo dengan Raja Gowa I Manggorai daeng Mammeta yang berbunyi (dalam Bahasa Bugis):
nerko metai gow ri eael, met arewGi sijai. mauni ebt gow etn ebt sijai etriaespi ebt gow.
Narekko matei Gowa ri Ele, mate arewengi Sinjai. Mauni beta Gowa tenna beta Sinjai tenriaseppi beta Gowa.
Yang artinya:
Kalau Gowa mati di waktu pagi, maka Sinjai harus mati diwaktu sore. Biar Gowa kalah, tetapi Sinjai belum kalah, maka itu belum bisa dikatakan kalah. Demikian juga kendatipun Sinjai kalah, tetapi Gowa belum kalah maka itu belum dapat dikatakan kekalahan.
           
            Begitu ertanya hubungan anatara kerajaan Tellu Limpoe dengan kerajaan Gowa, sehingga dalam beberapa kegiatan kerajaan Gowa yang bersifat keluar, Kerajaan Tellu Limpoe banyak mengambil bagian. Seperti ketika Gowa mengirim laskarnyake Kutai dan Brunai pada akhir abad XVI, maka laskar Tellu Limpoe  juga ikut mengambil bagian di bawah pimpinan Simappa daeng Minnajai, atas bantuan tersebut, Gowa menghadiakan sebidang tanah di daerah Turatea yang kini disebut tanjung Bulo-Bulo.
            Kerajaan Tellu Limpoe hingga masuknya pengaruh dan kekuasaan kolonialisme Belanda di Sulawesi Selatan karena kekalahan Kerajaan Gowa. Berdasarkan perjanjian Bongaya tanggal 18 November 1667 pasal 20, maka daerah Tellu Limpoe tidak lagi menjadi pengaruh kerajaan Gowa, tetapi dijadikan pengaruh kolonialisme Belanda. Adapun bunyi pasal 20 perjanjian Bongaya sebagai berikut:
“semua negeri yang dalam peperangan dikalahan oleh kompeni besama sekutu-sekutunya, terhitung mulai dari Bulo-Bulo sampai Bungaya, akan menjadi dan tetap sebagai negeri-negeri milik yang telah dimenangkan oleh kompeni bersama sekutu-sekutunya menurut hukum perang:..
            Atas kemenangan kompeni Belanda menimbulkan perubahan situasi di Sulawesi Selatan. Kerajaan Bone di bawah kekuasan La Tenri Tatta Arung Palakka berusaha memegang hegemoni dengan memperluas pengaruhnya, termasuk Kerajaan Tellu Limpoe yang kembali memberlakukan secara khusus dengan menjadikannya Kerajaan Palili Siajing (protektotrat).
            Adapun yang menjadi wilayah Kerajaan Tellu Limpoe, sebagai kerajaan otonom sepanjang yang tercatat dalam lontara Kerajaan Bulo-Bulo adalah sebagai berikut:
                   I.            Wilayah kekuasaan kerajaan Tondong, meliputi: Kampala, Pao, Salohe, Lengkese, Tokka, Kolasa, Camba.
                II.            Wilayah kekuasaan kerajaan Bulo-bulo, meliputi: Saukang, Rombo, Mattoanging, Bontopale, Kaloling, Maroanging, Biringere, Pattalassang, Sanjai, Bua, Pattongko, Mannanti, Biroro, Bikeru, Talle, Bulu, Takkuro, Saoanging, Ammessing, Serre, Nangka, Baringeng, Kalaka.
             III.            Wilayah kekuasaan kerajaan Lamatti, meliputi: Bongki, Panreng, Lappa, Balangnipa, Aruhu, Jerrung, Bulupoddo, Mangngopi, Sereng, Barang, Cenrana, Raja, Kading.
sedangkan batas Kerajaan Tellu Limpoe adalah:
-        Sebelah utara berbatasan dengan Bone
-        Sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone
-        Sebelah selatan berbatasan dengan Bulukumba
-        Sebelah barat berbatasan denga Gowa.
B.      Pengangkatan To Manurung menjadi Raja
            Sebelum datangnya keturunan Tomanurunge dari Ujung Lohe keadaan masyarakat di Tellu Limpoe mengalami kekacauan. Mereka berselisih dan saling beradu kekuatan, perampasan hak milik, bahkan malapetaka telah berkecamuk di seluruh pelatarn bumi pada saat itu. Bunu-membunuh silih berganti, akhlak sudah tidak ada, budi na luhur sudah tidak nampak lagi. Manusia seakan menjadi srigala bagi manusi yang lain, sehingga pada saat itu disebut wettu “sianre balena taue” (homo homini lupus)
            Berdasarkan hasil penelitian diperoleh keterangan bahwa kedatangan To Manurung di daerah Sinjai ini adalah secara tiba-tiba muncul atau kelihatan di suatu tempat setelah turun hujan yang sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam, seperti diceritakan dalam lontara Bulo-Bulo:
“pada suatu hari tiba-tiba turun hujan lebat disertai angin ribut yang sangat dahsyat. Kilat sambung menyambung diiringi petir sambar menyambar membahana bunyinya. Gemuruh guntur dan halilintar silih berganti bagaikan bumi akan runtuh karenanya yang menyebabkan kerusakan dan ketakutan. Keadaan ini berlangsung tujuh hari tujuh malamlamanya dan ketika  keadaan menjadi teduh kembali tiba-tiba orang sinjai melihat seorang laki-laki baerpakaian serba putih berdiri di atas bukit kemudian menghilang atau lenyap, lalu muncul lagi di bukit yang lain dan dilihatnya sekejap mata atau sepintas lalu   
           
Melihat peristiwa tersebut oleh masyarakat di daerah ini menganggapnya Tomanurung sebagai manusia yang aneh dan luar biasa dan menamainya dengan sebutan To Pasaju (Sajai), yang artinya hanya dilihat sebentar saja lalu menghilang.
Tidak beberapa lama setelah peristiwa itu To Manurung itu muncul lagi di sebuah bukit di antara perkampunag Tokka dan Kolasa dan menetap di sana. Oleh masyarakat digelarnya dengan “puatta” (Puang Tippange Tanah), artinya orang yang pertama-tama menempati sebuah daerah.
Dalam mitologi lontara Bulo-Bulo diriwayatkan bahwa Tippange Tanah inilah yang mengembangkan daerah itu menjadi suatu perkampungan pada abad XIII. Dalam lontara Kalaka dikatakan bahawa Tippange Tanah ini yang berjasa mendamaikan masyarakat yang sedang kacau pada daerah yang didatanginya.
Setelah keadaan di daerah itu mulai menjalin persatuan dan kesatuan serta kedamaian, oleh Tippange Tanahmembentuk sebuah kerajaan yang dinamainya Kerajaan Tonroe. Kemudian dibentuklah “ade” (ade Tokka Kolasa) yang mengatur tatanan hidup yang merata.
Setelah terbentuknya Ade tersebut, maka orang-orang yang berdiam di daerah tersebut sepakat menobatkan Tippange Tanah sebaga Raja. Olehnya itu dihubungilah Tomanurung tersebut untuk dimintai kesediaannya menjadi pemimpin, maka dibuatkanlah baruga sebagai tempat pelantikan arung  tersebut.
Sebelum Tippange Tanah resmi menjadi raja (Arung), pada pelantikan arung ini diikat oleh janji atau sumpah yang disepakati oleh ade dan Tippange Tanah tersebut:
mlilu sipkaieG.
erb siptoko.
mli siprep.
aru tEgoro liau.
aru tEliau esep.
aru tEmjuekai pbt.

Malilu sipakainge
Rebba sipatokkong
Mali siparappe
Arung te gorok liu
Arung telliu sepe
Arung te majulekkai pabbatang
Artinya:
Hilaf atau lupa saling memperingati
Rebah sama ditegakkan
Hanyut sama-sama didamparkan
Arung tidak boleh membuat peraturan sendiri tanpa persetujuan adat
Ade tidak boleh melupakan kebiasaan (adat istiadat) yang berlaku bagi Arung
Arung tidak boleh berbuat melewati (di luar) ketentuan adat.
Barang siapa yang mengingkari janji atau sumpah, maka ia tidak akan mendapatkan keselamatan dan mati tanpa ada keturunannya yang melanjutkan kepemimpinannya

Setelah mengucapkan sumpah yang merupakan keputusan mereka, maka untuk menguatkan kesepakatan tersebut mereka melemparkan sebutir telur di atas batu pelantikan yang merupakan lambang bahwa barang siapa yang melanggar kesepakatan tersebut akan hancur bagaikan hancurnya telur itu.
Tatkala Tippange Tanah  telah menduduki tahta kerajaan, para tua-tua adat mengingkan agar arung Tippange Tanah secepatnya menikah sehingga natinya ada keturunannya yang bisa menggantikan kedudukannya. Berikut kutipan percakapan antara tu-tua adat dengan Arung Tippange Tanah:
“Pada suatu hari Arung Tippange Tanah sedang duduk bersama tua-tua adat tiba-tiba salah seorang berkata kepada Arung: “ada baiknya barangkali kalau Arung junjungan kami ada yang mendampingi dalam menjalankan pemerintahan supaya nantinya juga ada generasi yang yang akan melanjutkan kepemimpinan tuan”. Menjawab Tippange Tanah “Baik juga usulanmu itu, akan tetapi dengan siapa akan kujadikan permaisuri dan siapa pula yang akan menjadi duta?” Serempak para tua-tua adat menjawab: “Kamilah yang akan menjadi duta ke Kajang untuk meminang Putri Karaeng Kajang cucu Manurung Ujung Lohe”
            Seusai pembicaraan tersebut maka ditentukanlah harinya untuk berangkat ke Kajang untuk meminang puteri Karaeng Kajang. Tidak lama kemudian berangkatlah para duta ke Kajang. Setibanya di sana, menghadaplah para duta itu pada Karaeng Kajang untuk menyampaikan maksud kedatangannya. Mendengar lamaran itu, maka Karaeng Kajang berkata bahwa yang akan kami terimah adalah Arung  yang mempunyai Gellarang (adat). Menjawablah salah seorang dari mereka bahwa kami ini adalah gellarang dari kerajaan yang diperintahnya. Mendengar jawaban itu, diterimalah lamaran mereka dengan mas kawin (sompa) To selli.  Segeralah mereka pulang ke kerajaan Tonroe dengan perasaan gembira karena lamarannya diterimah.
            Setibanya di Kerajaan Tonroe, menghadaplah mereka kepada Arung Tippange Tanah  menyampaikan bahwa lamaran mereka diterima dengan mas kawin (Sompa) To Selli. Ditentukanlah hari pelaksanaan pesta perkawinan antara Arung Tonroe yang bernama Tippange Tanah dengan Rampalalae yang bergelar Puatta ri Palisiue puteri Kajang.
            Dari perkawinan itu, mereka di karuniai dua orang anak, seorang perempuan bernama Sappe Ri Bulu yang kemudian menjadi Raja I di Kerajaan Tondong, dan sang Putera bernama Barubbu Tanae menjadi Arung di Kerajaan Bulo-Bulo.
            Setelah Sappe Ri Bulu  menjadi raja di Tondong, ia kemudian diperistrikan oleh Karaeng Tiro Jaji Batara. Dari hasil perkawinannya itu, ia dikaruniai tiga orang anak (Mandanaca, Samatimbang, dan Mangera Baju). Mangera Baju inilah yang kemudian menjadi raja I di Kerajaan Lamatti.
            Dari keterangan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa yang menjadi raja-raja di kerajaan Tellu Limpoe (Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti) adalah keturunan To Manurung yang berasal dari Ujung Lohe. Sebagaimana yang tersimpul dalam pengertian limpo-lipu yang berarti lingkaran keluarga. Hal inilah yang menyebabkan sehingga ketiga kerajaan ini dikenal pula sebagai kerajaan yang “mabbulo sipeppa” yang berarti bersatu kukuh.