Kamis, 17 Juli 2014

Selayang pandang Tanah Kaloling Sinjai Timur Kab Sinjai


            Selayang Pandang  Kaloling
            Sinjai Timur Kab. Sinjai
                                    Oleh : A. Rauf TM Psanre MA


 Kaloling adalah sebuah nama  tempat  yang diambil dari tanda lambang atau bendara pejuang tanah Kaloling pada masa lalu. Dimana salah satu gambar yang ada pada bendera tersebut yakni gambar naga yang bentuknya menyerupai ekor panjang dan  dipahami oleh mereka bahwa salah satu sifat ekor itu selalu ‘loli atau mappalolli’ artinya berdiri melenkung ketika berlari. Hal inilah yang menginisiasi  mereka sehingga bersepakat menentukan nama tersebut dengan  nama Kaloling, kemudian  selanjutnya menjadikannya nama Kampung yaitu Kampung Kaloling.
  Secara geografi, kampung Kaloling atau tanah Kaloling itu termasuk bagian wilayah perkampungan yang terletak diwilayah bagian timur Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, Indonesia. Tepatnya berada sebelumnya pada wilayah atau bagian  kawasan desa saukang dan termasuk wilayah kekuasaan Bulo-Bulo. Tellunlimpoe pada  zaman dahulu.
Selanjutnta, kalaulah kita menelusuri  secara detail tentang asal muasal terbentuknya desa Kaloling ini, maka  akan diketahui  dengan pasti bahwa tanah Kaloling pada mulanya hanya merupakan sebuah wilayah pemukiman yang disebut dengan” kampung”, dengan struktur pemerintahannya hanya disebut ‘Ade.” Pemerintahan dalam kategori Ade ini menjadi panutan masyarakat Kaloling Sinjai timur kabupataen Sinjai. Tata kehidupan seperti demikian tersebut berakhir dan beralih menjadi ‘Arung’ setelah selesainya dibangun Sao Rajae di Bulo-Bulo.
Pembangunan Sao Rajae di Bulo-Bulo menurut sejarahnya adalah diprakarsai dan dibangun oleh  Masyarakat  Kaloling. Hal tersebut merupakan salah satu bukti kedekatan antara Bulo-Bulo dengan Kaloling. Keberadaan Ade Kaloling di wilayah Bulo-Bulo tersebut sekaligus menjadikan Bulo-Bulo semakin disegani dan diperhitungkan oleh semua raja-raja baik dari Sinjai sendiri maupun dari luar Sinjai. Apatah lagi panglima perang Arung atau Raja Bulo-Bulo berasal dari tanah Kaloling, diantaranya adalah panglima perang Puang Timo Daeng Mamajeng dan sebagainya.
Tanah Kaloling Sinjai Timur, ketika itu sesungguhnya masih tergolong kelompok komunitas  suku bugis minoritas di Tanah Sinjai Khususnya Sinjai Timur. Namun tata pemrintahannya sudah diperintah atau dipimpin  oleh seorang yang diberi gelar Arung. Untuk itu, maka model pemerintahannya bisa dipadankan dengan level yang setingkat dengan kecamatan atau kabupaten  pada struktur pemerintahan  sekarang yang dikepalai oleh kepala kecamatan atau kepala daerah.
Setelah  Negara kita  Indonesia tercinta ini merdeka, dan bentuk  negaranya adalah republik, maka terjadi perubahan-perubahan diberbagai aspek kehidupan di seluruh tanah air kita ini tak terkecuali pembagian wilayah, juga perubahan struktur pemerintahan diseluruh Indonesia termasuk di wilayah tanah Kaloling.
            Perubahan struktur pemerintahan itu pula, menyebabkan terjadinya peralihan atau perubahan nama dan wilayah pemerintahan .Gelar Arung yang identik dengan turunan bangsawan bugis, terjadi penyederhanaan istilah menjadi diksi-diksi yang dianggap lebih menasional. Dengan demikian terbentuklah Kepala Kampung, kepala Desa, Kepala Kecamatan.
Desa Kaloling yang terletak di kecamatan sinjai timur kabupaten sinjai ini, dahulunya desa tersebut termasuk bagian kampung yang  wilayahnya berada pada Desa Saukang. Artinya, desa Kaloling tersebut merupakan desa hasil pemekaran dari desa induk yakni desa saukang. Desa Kaloling ini  dimekarkan menjadi sebuah  desa dalam bentuk persiapan atau desa persiapan. Dan perlu pula diketahui bahwa desa tersebut sebelumnya termasuk komunitas masyarakat yang disebut dengan istilah “kampong” yaitu Kampung Kaloling. Kampung  tersebut dipimpin oleh kepala kampung yang merupakan peralihan dari Arung Kaloling. Dalam konteks ini dapat diketahui bahwa desa  Kaloling pada zaman dulu termasuk wilayah yang memiliki kelompok raja-raja kecil yang dinahkodai oleh Arung. Buktinya,yakni adanya istilah  yang biasa disebut orang-orang tua dulu, seperti ada yang disebut Arung Jumati, Arung Semrima, Arung Fandi dan Arung tua ( Arung Matoa). Arung tua tersebut dipangku oleh Ambo Rehe, Setelah meninggal dunia, lalu digantikan oleh Hammade, kemudian dilanjutkan oleh Puang pai daeng Makketti.Kemudian beralih status menjadi lingkungan atau Kampung di pimpin oleh Muhammad Aras. Pada pemerintahan Muhammad Aras, terjadi lagi peralihan status dari Nama Kampung yang dikepalai oleh kepala kampung menjadi sebuah desa persiapan yang di pimpin oleh kepala desa.
Desa Kaloling sekarang sudah menjadi desa defenitif yang membawahi beberapa kepala lingkungan atau dusun, yaitu :  Dusun Kaloling, Dusun Bainang, Dusun tellangnge atau Bonto Sumange, dan Dusun Bilalang. Dusun-dusun tersebut diatas, dulunya hanya dikenal dengan tiga wilayah yaitu wilayah bilalang, wilayah Kaloling utara (diahan dalam bahasa bugis), dan wilayah kaloling selatan ( diattang dalam bahasa bugis).
Desa Kaloling termasuk sebuah desa yang masyarakatnya  bertipe pekerja keras. Hal itu disebabkan karena kondisi alamnya  yang sebagian besar terdiri atas  gunung batu hitam yang tersebar di hampir semua permukaan tanah di daerah tersebut. Dengan perkataan lain bahwa sebagian wilayahnya khususnya daerah bagian  selatan  termasuk wilayah batu bertanah-tanah bukan tanah berbatu.batu. Dengan medan yang bernuansa tropis seperti demikian ini, menyebabkan karakteristik masyarakatnya bertype tempranental.Selain itu, pepohonan yang paling banyak dijumpai di tanah Kaloling adalah pohon lomtarak(rautak). Hal tersebut, dipahami oleh masyarakat Kaloling memiliki nilai historis. Masyarakat Kaloling percaya bahwa semua tanah yang diatasnya tumbuh pohon lontarak (rauttak), maka daerah tersebut  pernah dikunjungi atau dikuasai oleh Sultan Hasanuddin( pahlawan yang dikenal sebagai ayam jantang dari timur oleh kompeni).
Masyarakat Kaloling sejak dulu menjadikan pohon lontarak sebagai  pohon yang dapat memproduksi sumber minuman segar yang  dapat menguatkan badan. Khasiatnya  begitu besar dirasakan, khususnya para  petani. Volume kerja mereka meningkat setelah minum Ballo atau tuak dari lantarak tersebut. Hanya saja, biasa ada yang menyalahgunakan minuman itu, yakni mabuk-mabukan bahkan biasa ada yang baku tikam dan melakukan jallo akibat minuman tersebut..
Tidaklah rasanya berlebihan bila diantara masyarakat Kaloling, ada yang bercerita bahwa dahulu kalau musin kemarau tiba, maka sumur, sungai pada kering, tidak ada air dimana-mana, jangankan untuk dimandi ,untuk diminum saja sangat susah. Maka dalam pada itu masyarakat Kaloling ada yang memilih minum dan mandi dengan menggunakan air Ballo atau tuak saja. Hal ini menunjukkan bahwa pada musin kemarau merupakan puncak produksi Ballo atau tauk di tanah Kaloling. Maka masyarakat Kaloling menjadi berlebihan mengkomsunsi minuman tersebut.
Disamping itu, dalam versi yang berbeda diceritakan  bahwa pada tempo dulu kalau ada orang yang menyebut Kampung Kaloling Sinjai Timur diluar daerah itu atau dirantauan, maka hal yang pertama ditanyakan orang  tiada lain hanya tentang  ballo atau tuak dan passigajaneng atau  membunuhan dengan baku tikam. Jadi orang orang-orang dulu banyak yang beranggapan atau mengidentikkan Kaloling Sinjai timur dengan ballo atau tuak. Ada pula yang mengidentikkannya dengan passigajaneng.
Paradigma orang-orang diluar kampung Kaloling tersebut, mungkin merupakan bias dari setiap kejadian demi kejadian yang sering terjadi di tanah Kaloling. Seperti, pembunuhan Arung secara turun temurun, cerita orang-orang yang tinggal dipinggir Kampung itu, yakni bahwa hampir setiap minggu atau bulan ada orang Kaloling selesai baku tikam dibawa ke rumah sakit. Anehnya lagi, tempat baku tikamnya berbeda-beda; ada di atas pohon lontar, ada dirumah ,ada di masjid, ada disawah, ada dilapangan, dan lain sebagainya.
Perlu kiranya diketahui bahwa, Kaloling sinjai timur yang sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan keadaan Kaloling tempo dulu. Kalau zaman dulu masyarakat tersebut potensi sumber daya manusia dan manusianya terbilang sangat tertinggal dari berbagai aspek kehidupan. Kegiatan masyarakatnya ketika itu lebih banyak berurusan dengan pohon lontar atau membuat jalan ke pohon lontar yang mengarah kepada kemaksiatan ketimbang ke tempat yang ma’’ruf, seperti tempat ibadah atau masjid, dan sebagainya. Hal ini merupakan bias dari kejahilian atau kebodohan mereka. Bukti kejahilian atau kebodohan itu, yakni masyarakat kaloling sangat hafal pepatah bugis, bahwa “seddi laleng tepedding diolah yanaritu lalengna passarie”(satu-satunya jalan yang tidak boleh dilalui yakni jalannya tukang membuat Ballo).  Masyarakat Kaloling hampir semua telah mendapat pesan itu, akan tetapi sangat sedikit diantara mereka yang merealisasikannya dalam praktik hidup dan kehidupannya. Malahan yang mereka lakukan justru sebaliknya. Maka sekarang Masyarakatnya sudah banyak yang berpendidikan, pengusaha, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menjadi tanda ada upaya yang mengarah kepeningkatan status sosial dalam hidup dan kehidupannya. Disamping itu, pola pikir masyarakatnya sudah banyak yang berubah dan sudah tergolong maju. Mereka sudah banyak yang paham arti dan tujuan kehidupan didunia ini. Seperti yang dijelaskan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an yang maknanya sebagai berikut; “Dan tidak diciptakan jin dan manusia oleh Allah SWT kecuali untuk mengabdi kepadaNya”. Dalam konteks tersebut maka masyarakat Kaloling secara beransur-ansur meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah lakukan pada masa lalu.
Dengan demikian, masyarakat Kaloling tengah berbenah diri menbangun kehidupannya terutama kehidupan keagamaan. Disisi lain hambatan dan tantangan silih berganti. Sisa-sisa praktik TBC ( tahayyul, bid’ah, dan Churafaat) belum steril  datang lagi paham-paham baru yang inti ajaran tidak sejalan denggan ajaran Islam sesungguhnya. Paham-paham berupa tarekat dan aliran-aliran membuat masyarakat Kaloling berada diambang perpecahan dan ukhuwah ternodai. Faktor penyebabnya tiada lain adalah bias dari komitmen pendiriannya terhadap pahamnya masing-masing.
Mungkin disinilah perlunya mengungkap sejarah kehidupan keagamaan di tanah Kaloling pada masa silang dengan maksud untuk mereviw memori masyarakat Kaloling tentang kehidupan keagamaan tersebut. Sejarah telah mencatat bahwa masyarakat Kaloling pada awal mulanya memiliki paham animisme, kemudian masuk pengaruh Hindu dan Budha, dan terakhir pengaruh Islam. Bukti-bukti sejarahnya dapat diketahui denggan adanya tempat-tempat penyembahan ditanah Kaloling, seperti puallohe, panggo, puang Kalibaringen, puan bombang,batu lohongnge,  addemmeng lohee, dan lain sebagainya, termasuk adanya kuburan biksu di daerah tersebut.
Bukti-bukti demikian tersebut, masyarakat Kaloling harus memahaminya secara saksama karena masyarakat Kaloling sekarang sudah seratus persen memeluk agama Islam. Masyarakat Kaloling harus memastikan bahwa sisa-sisa ajaran non Islam tersebut ditanah Kaloling  sudah dibersihkan oleh ajaran Islam yang sesungguhnya. Ajaran Islam yang berlandaskan  al-Qur’an dan Hadits dan mempraktikkannya sesuai denggan apa yang telah dipraktikkan Oleh Nabi Muhammad SAW., bukan paham lain yang praktiknya  bertentangan dengan kaidah fiqh dan tidak sejalan dengan syariat Islam.

3 komentar:

  1. Terima kasih, karena saya telah menemukan blog ini yang selama ini saya cari-cari, khususnya tentang desa Kaloling.

    BalasHapus
  2. Terima kasih gan, saya sangat senang sekali menemukan blog anda karena saya sudah banyak mendapatkan informasi tentang tanah kelahiran saya kaloling sinjai timur...

    BalasHapus
  3. Boleh Minta Dalam bahasa bugis

    BalasHapus