Rabu, 09 Juli 2014

Terbentuknya Kerajaan TellullimpoE


TERBENTUKNYA KERAJAAN TELLU LIMPOE
A.     Asal Mula Istilah Tellu Limpoe dan Wilayah Kerajaanya
            Tellu Limpoe adalah suatu federasi kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan yang dalam proses sejarah kurang lebih empat abad yang silam. Kini wilayahnya menjadi suatu Kabupaten yaitu Kabupaten Sinjai.
            Federasi Tellu Limpoe secara etimologis terdiri atas dua kata yaitu Tellu yang berarti Tiga, dan Limpoe (Limpu) yang berarti Tempat. Federasi ini merupakan daerah atau wilayah pemerintahn seorang Arung atau Raja. Kerajaan Tellu Limpoe meliputi tiga buah kerajaan otonom yang mempunyai perserikatan.
            Ketiga kerajaan yang dimaksud di atas adalah: Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti  yang didirikan oleh Tomanurung. Ia adalah Manurunge Ri Ujung Lohe sekitar abad ke-13. Dalam Lontara Bulo-Bulo disebutkan bahwa:
todo, bulo-bulo, lmti eaeReG mpju teR etlu liPoea. emeR mbho bulu dtu tueKea ri brieG.
 “Tondong, Bulo-Bulo, Lamatti Enrenge Mappajung Tanre Tellu Limpoe Menre Mabbaho Bulu Datu TungkeE ri Baringeng.”

            Dari kata-kata “Datu TungkeE ri Baringeng” terungkap bahwa selain wilayah Tellu Limpoe di atas, masih ada lagi suatu wilayah pesisir yang sangat luas mulai dari sebelah selatan sungai Sinjai membujur ke selatan sampai ke Ujung Lohe yang mempunyai nilai strategis sepanjang sejarah Teluk Bone. Tercatat pula Lakowa dalam Lontara Bulo-Bulo, ia adalah Datue ri Baringeng yang merupakan leluluhur Kerajaan Tellu Limpoe.
            Wilayah pesisir ini pulalah yang merupakan sumber utama penghasilan para punggawa dan pabbaraninya Kerajaan Tellu Limpoe, dimana kondisi lingkungan pesisir sebagai Kerajaan Maritim yang penuh dengan dinamika kehidupan dan sikap terbuka sebagai pelaut dan nelayan setiap hari bergelut dengan tantangan alam yang terus menerus bergelora.
            Dalam perjalanan sejarah yang panjang tercatat dalam lontara Bulo-Bulo bahwa Kerajaan Tellu Limpoe telah mengalami percaturan kekuasaan antar kerajaan-kerajaan Tellu Poccoe. Khususnya perebutan hegemoni antara Gowa dan Bone pada abad ke-16 dan ke-17 termasuk memperebutkan wilayah dan dominasi atas Kerajaan Tellu Limpoe. Hal ini disebabkan karena Kerajaan Tellu Limpoe mempunyai nilai strategis dalam ekonomi dan politik di Teluk Bone, seperti halnya ambisi Belanda untuk menguasai kerajaan Tellu Limpoe.
            Bagaimana dengan terbentuknya kerajaan Tellu Limpoe? Kerajaan Tellu Limpoe yang meliputi daerah Kabupaten Sinjai sekarang ini, diperkirakan telah terbentuk sejak pertengahan abad ke-16, atas keputusan bersama antara Raja Tondong VII (Iyottong Daeng Marumpa), raja Bulo-Bulo (Lamappasoko Lari Manoe Tanru’na), dan Raja Lamatti (La Padenring Tadangpalie) atas anjuran La Tenri Rawe Bongkange Matinroe ri Gucina Raja Bone VII. Keputusan bersama tersebut ditandai dengan batu peringatan yang lebih dikenal dengan istilah “Lamung Patue ri Topekkong” sekitar tahun 1564, yang artinya sebagai berikut:
Lamung           : memasukkan ke dalam lubang kemudian ditimbuni    dengan tanah.
Patu                 : berasal dari kata batu yang sifatnya keras tapi dapat hancur (lapuk) dan bersatu dengan tanah.
Topekkong      : terdiri dari dua kata, To-Tau berarti orang, dan Pekkong yang berarti bengkok

Maksudnya adalah hilangkan segalah kekerasan yang dapat merusak dan memecah belah persatuan kesatuan. Adapun isi perjanjian tersebut sebagai berikut:
mduem tosipllo, mebel tEsipsoro. sEEEEEEEEdi pbnua pd riapunai, asEp mapens.
sisper edec, tEsisprE j. mlilu sipkiaiGE, erb siptoko, mli siprep.
sini emeR etsini mno mleP tERi polo, mpoCo tERi sbuGi.

Maddumme tosipalallo, mebbelle tessi pasoro. Seddi pabbanua pada riappunai, lempa asepa mappanessa.
Sisappareng deceng, tessisappareng ja’. Malilu sipakainge, rebba sipatokkong, mali siparappe.
Sini manre tessini mano malampe tenri polo, maponco tenri sambungi

Maksudnya adalah:
Rakyat masing-masing kerajaan (Tondong, Bulo-Bulo, Lamatti) bebas memilih tempat pemukiman begitupula mencari penghidupan (bertani atau bercocok tanam). Sesungguhnya rakyat hanya satu, rakyat Tellu Limpoe. Hanya yang membedakan adalah arah mana ia bawa hasil padinya.
Saling ingat memperingati, bantu membantu dalam kebaikan dan tidak saling mencari kekurangan diantara mereka agar tidak timbul perpecahan.

Dengan keputusan bersama tersebut maka terbentuklah apa yang dinamakan kerajaan Tellu Limpoe  yang dalam perkembangannya erat kaitannya dengan Kerajaan Bone, baik karena hubungan geologis bagi raja-raja yang memerintahdi kedua kerajaan tersebut maupun karena hubungan di antara kerajaan yang bertetangga.
            Kerajaan Tellu Limpoe merupakan sahabat dari kerajaan dan merupakan batu penghalang bagi kerajaan Gowa sebelum langsung menyerang Bone. Dalam Lontara Bulo-Bulo dikatakan bahwa Kerajaan Tellu Limpoe  merupakan kerajaan “palili passiajing”dengan kerajaan Bone.
            Pada masa pemerintahan raja Gowa X Lapakkoko Topabbele serta panglima perangnya La Mungkace Taudamang menyerang Kerajaan Tellu Limpoe, kendati kerajaan Tellu Limpoe dibawah rajanya masing-masing  Raja Tondong (Iyottong Daeng Marumpa), raja Bulo-Bulo (Lamappasoko Lari Manoe Tanru’na), dan Raja Lamatti (La Padenring Tadangpalie) dengan segalah keberanian dan usahanya untuk membendung serangan Gowa dan Wajo ini tidak berhasil menyebabkan kerajaan tersebut menyerah pada tahun 1564. Namun kekalahan ini tidaklah berarti bahwa kerajaan Gowa telah berhasil, karena ternyata peperangan berlangsung terus menerus dengan kerajaan Bone. Pada saat itu kerajaan Bone di bawah pimpinan raja Bone VII La Tenri Rawe Bongkange Matinroe ri Gucinna.
            Kerajaan Bone memasuki tahap baru dalam hubungan diplomasi. Terjadi perjanjian perdamaian yang disebut perjanjian Caleppa tahun 1565 yang merupakan pembaharuan dari perjanjian yang pertama anatara antara Gowa dan Bone. Yang memprakarsai perjanjian ini adalah Kajaolaliddo dari Bone dan Mangkubumi Kerajaan Gowa I Mappatakatana daeng Padulung yang merangkap sebagai Raja Tallo.
            Adapun isi perjanjian Caleppa itu adalah sebagai berikut:
1.      Bone meminta kemenangan-kemenangan, yaitu kepadanya harus diberikan daerah-daerah samapai ke sungai Walanae di sebelah barat dan sampai di daerah Ulaweng di sebelah utara.
2.      Sungai Tangka (terletak diperbatasan Bone dan Sinjai) akan menjadi perbatasan daerah kekuasaan Bone dan daerah kekuasaan Gowa, yaitu: di sebelah utara masuk Bone dan di sebelah selatan masuk Gowa.
3.      Supaya negeri Cenranae  masuk daerah kekuasaan Bone karena dahulu Cenranae memang telah ditaklukkan oleh raja Bone “Latenri Sukki Mappajunge” raja Bone V, yaitu sebagai hasil peperangan melawan raja Luwu yang bernama “Raja Dewa” yang sekian lama menguasai daerah Cenranae.
Berdasarkan perjanjia Caleppa maka kerajaan Tellu Limpoe secara de fakto dan jure masuk pengaruh kerajaan Gowa. Karena itu sekian lama kerajaan Tellu Limpoe adalah kerajaan yang banyak berhubungan Kerajaan Bone karena hungan palili passiajing, maka sesudah perjanjian Caleppa Kerajaan Tellu Limpoe menjadi Kerajaan palili dari Kerajaan Gowa.
            Pada masa itu timbul perjanjian persahabatan yang sangat akrab antara Kerajaan Tellu Limpoe yang diwakili oleh Lamappasoko Lari Manoe Tanru’na Raja Bulo-Bulo dengan Raja Gowa I Manggorai daeng Mammeta yang berbunyi (dalam Bahasa Bugis):
nerko metai gow ri eael, met arewGi sijai. mauni ebt gow etn ebt sijai etriaespi ebt gow.
Narekko matei Gowa ri Ele, mate arewengi Sinjai. Mauni beta Gowa tenna beta Sinjai tenriaseppi beta Gowa.
Yang artinya:
Kalau Gowa mati di waktu pagi, maka Sinjai harus mati diwaktu sore. Biar Gowa kalah, tetapi Sinjai belum kalah, maka itu belum bisa dikatakan kalah. Demikian juga kendatipun Sinjai kalah, tetapi Gowa belum kalah maka itu belum dapat dikatakan kekalahan.
           
            Begitu ertanya hubungan anatara kerajaan Tellu Limpoe dengan kerajaan Gowa, sehingga dalam beberapa kegiatan kerajaan Gowa yang bersifat keluar, Kerajaan Tellu Limpoe banyak mengambil bagian. Seperti ketika Gowa mengirim laskarnyake Kutai dan Brunai pada akhir abad XVI, maka laskar Tellu Limpoe  juga ikut mengambil bagian di bawah pimpinan Simappa daeng Minnajai, atas bantuan tersebut, Gowa menghadiakan sebidang tanah di daerah Turatea yang kini disebut tanjung Bulo-Bulo.
            Kerajaan Tellu Limpoe hingga masuknya pengaruh dan kekuasaan kolonialisme Belanda di Sulawesi Selatan karena kekalahan Kerajaan Gowa. Berdasarkan perjanjian Bongaya tanggal 18 November 1667 pasal 20, maka daerah Tellu Limpoe tidak lagi menjadi pengaruh kerajaan Gowa, tetapi dijadikan pengaruh kolonialisme Belanda. Adapun bunyi pasal 20 perjanjian Bongaya sebagai berikut:
“semua negeri yang dalam peperangan dikalahan oleh kompeni besama sekutu-sekutunya, terhitung mulai dari Bulo-Bulo sampai Bungaya, akan menjadi dan tetap sebagai negeri-negeri milik yang telah dimenangkan oleh kompeni bersama sekutu-sekutunya menurut hukum perang:..
            Atas kemenangan kompeni Belanda menimbulkan perubahan situasi di Sulawesi Selatan. Kerajaan Bone di bawah kekuasan La Tenri Tatta Arung Palakka berusaha memegang hegemoni dengan memperluas pengaruhnya, termasuk Kerajaan Tellu Limpoe yang kembali memberlakukan secara khusus dengan menjadikannya Kerajaan Palili Siajing (protektotrat).
            Adapun yang menjadi wilayah Kerajaan Tellu Limpoe, sebagai kerajaan otonom sepanjang yang tercatat dalam lontara Kerajaan Bulo-Bulo adalah sebagai berikut:
                   I.            Wilayah kekuasaan kerajaan Tondong, meliputi: Kampala, Pao, Salohe, Lengkese, Tokka, Kolasa, Camba.
                II.            Wilayah kekuasaan kerajaan Bulo-bulo, meliputi: Saukang, Rombo, Mattoanging, Bontopale, Kaloling, Maroanging, Biringere, Pattalassang, Sanjai, Bua, Pattongko, Mannanti, Biroro, Bikeru, Talle, Bulu, Takkuro, Saoanging, Ammessing, Serre, Nangka, Baringeng, Kalaka.
             III.            Wilayah kekuasaan kerajaan Lamatti, meliputi: Bongki, Panreng, Lappa, Balangnipa, Aruhu, Jerrung, Bulupoddo, Mangngopi, Sereng, Barang, Cenrana, Raja, Kading.
sedangkan batas Kerajaan Tellu Limpoe adalah:
-        Sebelah utara berbatasan dengan Bone
-        Sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone
-        Sebelah selatan berbatasan dengan Bulukumba
-        Sebelah barat berbatasan denga Gowa.
B.      Pengangkatan To Manurung menjadi Raja
            Sebelum datangnya keturunan Tomanurunge dari Ujung Lohe keadaan masyarakat di Tellu Limpoe mengalami kekacauan. Mereka berselisih dan saling beradu kekuatan, perampasan hak milik, bahkan malapetaka telah berkecamuk di seluruh pelatarn bumi pada saat itu. Bunu-membunuh silih berganti, akhlak sudah tidak ada, budi na luhur sudah tidak nampak lagi. Manusia seakan menjadi srigala bagi manusi yang lain, sehingga pada saat itu disebut wettu “sianre balena taue” (homo homini lupus)
            Berdasarkan hasil penelitian diperoleh keterangan bahwa kedatangan To Manurung di daerah Sinjai ini adalah secara tiba-tiba muncul atau kelihatan di suatu tempat setelah turun hujan yang sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam, seperti diceritakan dalam lontara Bulo-Bulo:
“pada suatu hari tiba-tiba turun hujan lebat disertai angin ribut yang sangat dahsyat. Kilat sambung menyambung diiringi petir sambar menyambar membahana bunyinya. Gemuruh guntur dan halilintar silih berganti bagaikan bumi akan runtuh karenanya yang menyebabkan kerusakan dan ketakutan. Keadaan ini berlangsung tujuh hari tujuh malamlamanya dan ketika  keadaan menjadi teduh kembali tiba-tiba orang sinjai melihat seorang laki-laki baerpakaian serba putih berdiri di atas bukit kemudian menghilang atau lenyap, lalu muncul lagi di bukit yang lain dan dilihatnya sekejap mata atau sepintas lalu   
           
Melihat peristiwa tersebut oleh masyarakat di daerah ini menganggapnya Tomanurung sebagai manusia yang aneh dan luar biasa dan menamainya dengan sebutan To Pasaju (Sajai), yang artinya hanya dilihat sebentar saja lalu menghilang.
Tidak beberapa lama setelah peristiwa itu To Manurung itu muncul lagi di sebuah bukit di antara perkampunag Tokka dan Kolasa dan menetap di sana. Oleh masyarakat digelarnya dengan “puatta” (Puang Tippange Tanah), artinya orang yang pertama-tama menempati sebuah daerah.
Dalam mitologi lontara Bulo-Bulo diriwayatkan bahwa Tippange Tanah inilah yang mengembangkan daerah itu menjadi suatu perkampungan pada abad XIII. Dalam lontara Kalaka dikatakan bahawa Tippange Tanah ini yang berjasa mendamaikan masyarakat yang sedang kacau pada daerah yang didatanginya.
Setelah keadaan di daerah itu mulai menjalin persatuan dan kesatuan serta kedamaian, oleh Tippange Tanahmembentuk sebuah kerajaan yang dinamainya Kerajaan Tonroe. Kemudian dibentuklah “ade” (ade Tokka Kolasa) yang mengatur tatanan hidup yang merata.
Setelah terbentuknya Ade tersebut, maka orang-orang yang berdiam di daerah tersebut sepakat menobatkan Tippange Tanah sebaga Raja. Olehnya itu dihubungilah Tomanurung tersebut untuk dimintai kesediaannya menjadi pemimpin, maka dibuatkanlah baruga sebagai tempat pelantikan arung  tersebut.
Sebelum Tippange Tanah resmi menjadi raja (Arung), pada pelantikan arung ini diikat oleh janji atau sumpah yang disepakati oleh ade dan Tippange Tanah tersebut:
mlilu sipkaieG.
erb siptoko.
mli siprep.
aru tEgoro liau.
aru tEliau esep.
aru tEmjuekai pbt.

Malilu sipakainge
Rebba sipatokkong
Mali siparappe
Arung te gorok liu
Arung telliu sepe
Arung te majulekkai pabbatang
Artinya:
Hilaf atau lupa saling memperingati
Rebah sama ditegakkan
Hanyut sama-sama didamparkan
Arung tidak boleh membuat peraturan sendiri tanpa persetujuan adat
Ade tidak boleh melupakan kebiasaan (adat istiadat) yang berlaku bagi Arung
Arung tidak boleh berbuat melewati (di luar) ketentuan adat.
Barang siapa yang mengingkari janji atau sumpah, maka ia tidak akan mendapatkan keselamatan dan mati tanpa ada keturunannya yang melanjutkan kepemimpinannya

Setelah mengucapkan sumpah yang merupakan keputusan mereka, maka untuk menguatkan kesepakatan tersebut mereka melemparkan sebutir telur di atas batu pelantikan yang merupakan lambang bahwa barang siapa yang melanggar kesepakatan tersebut akan hancur bagaikan hancurnya telur itu.
Tatkala Tippange Tanah  telah menduduki tahta kerajaan, para tua-tua adat mengingkan agar arung Tippange Tanah secepatnya menikah sehingga natinya ada keturunannya yang bisa menggantikan kedudukannya. Berikut kutipan percakapan antara tu-tua adat dengan Arung Tippange Tanah:
“Pada suatu hari Arung Tippange Tanah sedang duduk bersama tua-tua adat tiba-tiba salah seorang berkata kepada Arung: “ada baiknya barangkali kalau Arung junjungan kami ada yang mendampingi dalam menjalankan pemerintahan supaya nantinya juga ada generasi yang yang akan melanjutkan kepemimpinan tuan”. Menjawab Tippange Tanah “Baik juga usulanmu itu, akan tetapi dengan siapa akan kujadikan permaisuri dan siapa pula yang akan menjadi duta?” Serempak para tua-tua adat menjawab: “Kamilah yang akan menjadi duta ke Kajang untuk meminang Putri Karaeng Kajang cucu Manurung Ujung Lohe”
            Seusai pembicaraan tersebut maka ditentukanlah harinya untuk berangkat ke Kajang untuk meminang puteri Karaeng Kajang. Tidak lama kemudian berangkatlah para duta ke Kajang. Setibanya di sana, menghadaplah para duta itu pada Karaeng Kajang untuk menyampaikan maksud kedatangannya. Mendengar lamaran itu, maka Karaeng Kajang berkata bahwa yang akan kami terimah adalah Arung  yang mempunyai Gellarang (adat). Menjawablah salah seorang dari mereka bahwa kami ini adalah gellarang dari kerajaan yang diperintahnya. Mendengar jawaban itu, diterimalah lamaran mereka dengan mas kawin (sompa) To selli.  Segeralah mereka pulang ke kerajaan Tonroe dengan perasaan gembira karena lamarannya diterimah.
            Setibanya di Kerajaan Tonroe, menghadaplah mereka kepada Arung Tippange Tanah  menyampaikan bahwa lamaran mereka diterima dengan mas kawin (Sompa) To Selli. Ditentukanlah hari pelaksanaan pesta perkawinan antara Arung Tonroe yang bernama Tippange Tanah dengan Rampalalae yang bergelar Puatta ri Palisiue puteri Kajang.
            Dari perkawinan itu, mereka di karuniai dua orang anak, seorang perempuan bernama Sappe Ri Bulu yang kemudian menjadi Raja I di Kerajaan Tondong, dan sang Putera bernama Barubbu Tanae menjadi Arung di Kerajaan Bulo-Bulo.
            Setelah Sappe Ri Bulu  menjadi raja di Tondong, ia kemudian diperistrikan oleh Karaeng Tiro Jaji Batara. Dari hasil perkawinannya itu, ia dikaruniai tiga orang anak (Mandanaca, Samatimbang, dan Mangera Baju). Mangera Baju inilah yang kemudian menjadi raja I di Kerajaan Lamatti.
            Dari keterangan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa yang menjadi raja-raja di kerajaan Tellu Limpoe (Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti) adalah keturunan To Manurung yang berasal dari Ujung Lohe. Sebagaimana yang tersimpul dalam pengertian limpo-lipu yang berarti lingkaran keluarga. Hal inilah yang menyebabkan sehingga ketiga kerajaan ini dikenal pula sebagai kerajaan yang “mabbulo sipeppa” yang berarti bersatu kukuh.

2 komentar:

  1. "Seusai pembicaraan tersebut maka ditentukanlah harinya untuk berangkat ke Kajang untuk meminang puteri Karaeng Kajang" siapa namanya puteri karaeng kajang, siapa nama Bapaknya yang dan terjadi pada abad ke berapa dilamar oleh Puang Tippange Tanah, dan siapa namanya karaeng kajang yang memerintah waktu. itu, mohon penjelasannya.

    BalasHapus
  2. Setau saya perjanjian Topekkong merupakan perjanjian damai antara Gowa dan bone

    BalasHapus