TERBENTUKNYA
KERAJAAN TELLU LIMPOE
A. Asal Mula Istilah Tellu Limpoe
dan Wilayah Kerajaanya
Tellu Limpoe adalah suatu federasi kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan
yang dalam proses sejarah kurang lebih empat abad yang silam. Kini wilayahnya
menjadi suatu Kabupaten yaitu Kabupaten Sinjai.
Federasi Tellu Limpoe secara etimologis terdiri atas dua kata yaitu Tellu
yang berarti Tiga, dan Limpoe (Limpu) yang berarti Tempat. Federasi
ini merupakan daerah atau wilayah pemerintahn seorang Arung atau Raja.
Kerajaan Tellu Limpoe meliputi tiga buah kerajaan otonom yang
mempunyai perserikatan.
Ketiga kerajaan yang dimaksud di atas adalah: Tondong, Bulo-Bulo, dan
Lamatti yang didirikan oleh Tomanurung. Ia adalah Manurunge
Ri Ujung Lohe sekitar abad ke-13. Dalam Lontara Bulo-Bulo disebutkan
bahwa:
todo, bulo-bulo, lmti eaeReG mpju teR
etlu liPoea. emeR mbho bulu dtu tueKea ri brieG.
“Tondong, Bulo-Bulo, Lamatti
Enrenge Mappajung Tanre Tellu Limpoe Menre Mabbaho Bulu Datu TungkeE ri Baringeng.”
Dari kata-kata “Datu TungkeE ri Baringeng” terungkap bahwa selain
wilayah Tellu Limpoe di atas, masih ada lagi suatu wilayah pesisir yang
sangat luas mulai dari sebelah selatan sungai Sinjai membujur ke selatan sampai
ke Ujung Lohe yang mempunyai nilai strategis sepanjang sejarah Teluk Bone.
Tercatat pula Lakowa dalam Lontara Bulo-Bulo, ia adalah Datue ri
Baringeng yang merupakan leluluhur Kerajaan Tellu Limpoe.
Wilayah pesisir ini
pulalah yang merupakan sumber utama penghasilan para punggawa dan pabbaraninya
Kerajaan Tellu Limpoe, dimana kondisi lingkungan pesisir sebagai
Kerajaan Maritim yang penuh dengan dinamika kehidupan dan sikap terbuka sebagai
pelaut dan nelayan setiap hari bergelut dengan tantangan alam yang terus
menerus bergelora.
Dalam perjalanan sejarah yang panjang tercatat dalam lontara Bulo-Bulo bahwa
Kerajaan Tellu Limpoe telah mengalami percaturan kekuasaan antar
kerajaan-kerajaan Tellu Poccoe. Khususnya perebutan hegemoni antara Gowa
dan Bone pada abad ke-16 dan ke-17 termasuk memperebutkan wilayah dan dominasi
atas Kerajaan Tellu Limpoe. Hal ini disebabkan karena Kerajaan Tellu
Limpoe mempunyai nilai strategis dalam ekonomi dan politik di Teluk Bone,
seperti halnya ambisi Belanda untuk menguasai kerajaan Tellu Limpoe.
Bagaimana dengan terbentuknya kerajaan Tellu Limpoe? Kerajaan Tellu
Limpoe yang meliputi daerah Kabupaten Sinjai sekarang ini, diperkirakan
telah terbentuk sejak pertengahan abad ke-16, atas keputusan bersama antara
Raja Tondong VII (Iyottong Daeng Marumpa), raja Bulo-Bulo (Lamappasoko Lari
Manoe Tanru’na), dan Raja Lamatti (La Padenring Tadangpalie) atas anjuran La
Tenri Rawe Bongkange Matinroe ri Gucina Raja Bone VII. Keputusan bersama
tersebut ditandai dengan batu peringatan yang lebih dikenal dengan istilah “Lamung
Patue ri Topekkong” sekitar tahun 1564, yang artinya sebagai berikut:
Lamung
: memasukkan ke dalam lubang kemudian ditimbuni dengan tanah.
Patu
: berasal dari kata batu yang sifatnya keras tapi dapat hancur (lapuk) dan
bersatu dengan tanah.
Topekkong
: terdiri dari dua kata, To-Tau berarti orang, dan Pekkong yang
berarti bengkok
Maksudnya adalah hilangkan segalah
kekerasan yang dapat merusak dan memecah belah persatuan kesatuan. Adapun isi
perjanjian tersebut sebagai berikut:
mduem tosipllo, mebel
tEsipsoro. sEEEEEEEEdi pbnua pd riapunai, asEp mapens.
sisper edec, tEsisprE
j. mlilu sipkiaiGE, erb siptoko, mli siprep.
sini emeR etsini mno
mleP tERi polo, mpoCo tERi sbuGi.
Maddumme tosipalallo, mebbelle tessi
pasoro. Seddi pabbanua pada riappunai, lempa asepa mappanessa.
Sisappareng deceng, tessisappareng ja’.
Malilu sipakainge, rebba sipatokkong, mali siparappe.
Sini manre tessini mano malampe tenri
polo, maponco tenri sambungi
Maksudnya adalah:
Rakyat masing-masing kerajaan (Tondong,
Bulo-Bulo, Lamatti) bebas memilih tempat pemukiman begitupula mencari
penghidupan (bertani atau bercocok tanam). Sesungguhnya rakyat hanya satu,
rakyat Tellu Limpoe. Hanya yang membedakan adalah arah mana ia bawa
hasil padinya.
Saling ingat memperingati, bantu
membantu dalam kebaikan dan tidak saling mencari kekurangan diantara mereka
agar tidak timbul perpecahan.
Dengan keputusan bersama tersebut maka
terbentuklah apa yang dinamakan kerajaan Tellu Limpoe yang dalam
perkembangannya erat kaitannya dengan Kerajaan Bone, baik karena hubungan
geologis bagi raja-raja yang memerintahdi kedua kerajaan tersebut maupun karena
hubungan di antara kerajaan yang bertetangga.
Kerajaan Tellu Limpoe merupakan sahabat dari kerajaan dan merupakan batu
penghalang bagi kerajaan Gowa sebelum langsung menyerang Bone. Dalam Lontara Bulo-Bulo
dikatakan bahwa Kerajaan Tellu Limpoe merupakan kerajaan “palili
passiajing”dengan kerajaan Bone.
Pada masa pemerintahan raja Gowa X Lapakkoko Topabbele serta panglima perangnya
La Mungkace Taudamang menyerang Kerajaan Tellu Limpoe, kendati kerajaan Tellu
Limpoe dibawah rajanya masing-masing Raja Tondong (Iyottong Daeng
Marumpa), raja Bulo-Bulo (Lamappasoko Lari Manoe Tanru’na), dan Raja Lamatti
(La Padenring Tadangpalie) dengan segalah keberanian dan usahanya untuk
membendung serangan Gowa dan Wajo ini tidak berhasil menyebabkan kerajaan
tersebut menyerah pada tahun 1564. Namun kekalahan ini tidaklah berarti bahwa
kerajaan Gowa telah berhasil, karena ternyata peperangan berlangsung terus
menerus dengan kerajaan Bone. Pada saat itu kerajaan Bone di bawah pimpinan
raja Bone VII La Tenri Rawe Bongkange Matinroe ri Gucinna.
Kerajaan Bone memasuki tahap baru dalam hubungan diplomasi. Terjadi perjanjian
perdamaian yang disebut perjanjian Caleppa tahun 1565 yang merupakan
pembaharuan dari perjanjian yang pertama anatara antara Gowa dan Bone. Yang
memprakarsai perjanjian ini adalah Kajaolaliddo dari Bone dan Mangkubumi
Kerajaan Gowa I Mappatakatana daeng Padulung yang merangkap sebagai Raja Tallo.
Adapun isi perjanjian Caleppa itu adalah sebagai berikut:
1. Bone meminta kemenangan-kemenangan,
yaitu kepadanya harus diberikan daerah-daerah samapai ke sungai Walanae di
sebelah barat dan sampai di daerah Ulaweng di sebelah utara.
2. Sungai Tangka (terletak diperbatasan
Bone dan Sinjai) akan menjadi perbatasan daerah kekuasaan Bone dan daerah
kekuasaan Gowa, yaitu: di sebelah utara masuk Bone dan di sebelah selatan masuk
Gowa.
3. Supaya negeri Cenranae
masuk daerah kekuasaan Bone karena dahulu Cenranae memang telah
ditaklukkan oleh raja Bone “Latenri Sukki Mappajunge” raja Bone V, yaitu
sebagai hasil peperangan melawan raja Luwu yang bernama “Raja Dewa” yang sekian
lama menguasai daerah Cenranae.
Berdasarkan perjanjia Caleppa maka
kerajaan Tellu Limpoe secara de fakto dan jure masuk pengaruh kerajaan
Gowa. Karena itu sekian lama kerajaan Tellu Limpoe adalah kerajaan yang
banyak berhubungan Kerajaan Bone karena hungan palili passiajing, maka
sesudah perjanjian Caleppa Kerajaan Tellu Limpoe menjadi Kerajaan
palili dari Kerajaan Gowa.
Pada masa itu timbul perjanjian persahabatan yang sangat akrab antara Kerajaan Tellu
Limpoe yang diwakili oleh Lamappasoko Lari Manoe Tanru’na Raja Bulo-Bulo
dengan Raja Gowa I Manggorai daeng Mammeta yang berbunyi (dalam Bahasa Bugis):
nerko metai gow ri
eael, met arewGi sijai. mauni ebt gow etn ebt sijai etriaespi ebt gow.
Narekko matei Gowa ri Ele, mate
arewengi Sinjai. Mauni beta Gowa tenna beta Sinjai tenriaseppi beta Gowa.
Yang artinya:
Kalau Gowa mati di waktu pagi, maka
Sinjai harus mati diwaktu sore. Biar Gowa kalah, tetapi Sinjai belum kalah,
maka itu belum bisa dikatakan kalah. Demikian juga kendatipun Sinjai kalah,
tetapi Gowa belum kalah maka itu belum dapat dikatakan kekalahan.
Begitu ertanya hubungan anatara kerajaan Tellu Limpoe dengan kerajaan
Gowa, sehingga dalam beberapa kegiatan kerajaan Gowa yang bersifat keluar,
Kerajaan Tellu Limpoe banyak mengambil bagian. Seperti ketika Gowa
mengirim laskarnyake Kutai dan Brunai pada akhir abad XVI, maka laskar Tellu
Limpoe juga ikut mengambil bagian di bawah pimpinan Simappa daeng
Minnajai, atas bantuan tersebut, Gowa menghadiakan sebidang tanah di daerah
Turatea yang kini disebut tanjung Bulo-Bulo.
Kerajaan Tellu Limpoe hingga masuknya pengaruh dan kekuasaan
kolonialisme Belanda di Sulawesi Selatan karena kekalahan Kerajaan Gowa.
Berdasarkan perjanjian Bongaya tanggal 18 November 1667 pasal 20, maka daerah Tellu
Limpoe tidak lagi menjadi pengaruh kerajaan Gowa, tetapi dijadikan
pengaruh kolonialisme Belanda. Adapun bunyi pasal 20 perjanjian Bongaya sebagai
berikut:
“semua negeri yang dalam peperangan
dikalahan oleh kompeni besama sekutu-sekutunya, terhitung mulai dari Bulo-Bulo
sampai Bungaya, akan menjadi dan tetap sebagai negeri-negeri
milik yang telah dimenangkan oleh kompeni bersama sekutu-sekutunya menurut
hukum perang:..
Atas kemenangan kompeni Belanda menimbulkan perubahan situasi di Sulawesi
Selatan. Kerajaan Bone di bawah kekuasan La Tenri Tatta Arung Palakka berusaha
memegang hegemoni dengan memperluas pengaruhnya, termasuk Kerajaan Tellu
Limpoe yang kembali memberlakukan secara khusus dengan menjadikannya
Kerajaan Palili Siajing (protektotrat).
Adapun yang menjadi wilayah Kerajaan Tellu Limpoe, sebagai kerajaan
otonom sepanjang yang tercatat dalam lontara Kerajaan Bulo-Bulo adalah
sebagai berikut:
I.
Wilayah kekuasaan
kerajaan Tondong, meliputi: Kampala, Pao, Salohe, Lengkese, Tokka,
Kolasa, Camba.
II.
Wilayah kekuasaan
kerajaan Bulo-bulo, meliputi: Saukang, Rombo, Mattoanging, Bontopale,
Kaloling, Maroanging, Biringere, Pattalassang, Sanjai, Bua, Pattongko,
Mannanti, Biroro, Bikeru, Talle, Bulu, Takkuro, Saoanging, Ammessing, Serre,
Nangka, Baringeng, Kalaka.
III.
Wilayah kekuasaan
kerajaan Lamatti, meliputi: Bongki, Panreng, Lappa, Balangnipa, Aruhu,
Jerrung, Bulupoddo, Mangngopi, Sereng, Barang, Cenrana, Raja, Kading.
sedangkan batas Kerajaan Tellu
Limpoe adalah:
-
Sebelah utara berbatasan
dengan Bone
-
Sebelah timur
berbatasan dengan Teluk Bone
-
Sebelah selatan
berbatasan dengan Bulukumba
-
Sebelah barat
berbatasan denga Gowa.
B. Pengangkatan To Manurung menjadi Raja
Sebelum datangnya keturunan Tomanurunge dari Ujung Lohe keadaan
masyarakat di Tellu Limpoe mengalami kekacauan. Mereka berselisih dan
saling beradu kekuatan, perampasan hak milik, bahkan malapetaka telah
berkecamuk di seluruh pelatarn bumi pada saat itu. Bunu-membunuh silih berganti,
akhlak sudah tidak ada, budi na luhur sudah tidak nampak lagi. Manusia seakan
menjadi srigala bagi manusi yang lain, sehingga pada saat itu disebut wettu
“sianre balena taue” (homo homini lupus)
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh keterangan bahwa kedatangan To Manurung
di daerah Sinjai ini adalah secara tiba-tiba muncul atau kelihatan di suatu
tempat setelah turun hujan yang sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam,
seperti diceritakan dalam lontara Bulo-Bulo:
“pada suatu hari tiba-tiba turun hujan
lebat disertai angin ribut yang sangat dahsyat. Kilat sambung menyambung
diiringi petir sambar menyambar membahana bunyinya. Gemuruh guntur dan
halilintar silih berganti bagaikan bumi akan runtuh karenanya yang menyebabkan
kerusakan dan ketakutan. Keadaan ini berlangsung tujuh hari tujuh malamlamanya
dan ketika keadaan menjadi teduh kembali tiba-tiba orang sinjai melihat
seorang laki-laki baerpakaian serba
putih berdiri di atas bukit kemudian menghilang atau lenyap, lalu muncul lagi
di bukit yang lain dan dilihatnya sekejap mata atau sepintas lalu
Melihat peristiwa tersebut oleh
masyarakat di daerah ini menganggapnya Tomanurung sebagai manusia yang aneh dan
luar biasa dan menamainya dengan sebutan To Pasaju (Sajai), yang artinya
hanya dilihat sebentar saja lalu menghilang.
Tidak beberapa lama setelah peristiwa
itu To Manurung itu muncul lagi di sebuah bukit di antara perkampunag
Tokka dan Kolasa dan menetap di sana. Oleh masyarakat digelarnya dengan “puatta”
(Puang Tippange Tanah), artinya orang yang pertama-tama menempati sebuah
daerah.
Dalam mitologi lontara Bulo-Bulo
diriwayatkan bahwa Tippange Tanah inilah yang mengembangkan daerah itu
menjadi suatu perkampungan pada abad XIII. Dalam lontara Kalaka dikatakan
bahawa Tippange Tanah ini yang berjasa mendamaikan masyarakat yang
sedang kacau pada daerah yang didatanginya.
Setelah keadaan di daerah itu mulai
menjalin persatuan dan kesatuan serta kedamaian, oleh Tippange Tanahmembentuk
sebuah kerajaan yang dinamainya Kerajaan Tonroe. Kemudian dibentuklah
“ade” (ade Tokka Kolasa) yang mengatur tatanan hidup yang merata.
Setelah terbentuknya Ade tersebut,
maka orang-orang yang berdiam di daerah tersebut sepakat menobatkan Tippange
Tanah sebaga Raja. Olehnya itu dihubungilah Tomanurung tersebut
untuk dimintai kesediaannya menjadi pemimpin, maka dibuatkanlah baruga sebagai
tempat pelantikan arung tersebut.
Sebelum Tippange Tanah resmi
menjadi raja (Arung), pada pelantikan arung ini diikat oleh janji atau
sumpah yang disepakati oleh ade dan Tippange Tanah tersebut:
mlilu sipkaieG.
erb siptoko.
mli siprep.
aru tEgoro liau.
aru tEliau esep.
aru tEmjuekai pbt.
Malilu sipakainge
Rebba sipatokkong
Mali siparappe
Arung te gorok liu
Arung telliu sepe
Arung te majulekkai pabbatang
Artinya:
Hilaf atau lupa saling memperingati
Rebah sama ditegakkan
Hanyut sama-sama didamparkan
Arung tidak boleh membuat peraturan
sendiri tanpa persetujuan adat
Ade tidak boleh melupakan kebiasaan
(adat istiadat) yang berlaku bagi Arung
Arung tidak boleh berbuat melewati (di
luar) ketentuan adat.
Barang siapa yang mengingkari janji
atau sumpah, maka ia tidak akan mendapatkan keselamatan dan mati tanpa ada
keturunannya yang melanjutkan kepemimpinannya
Setelah mengucapkan sumpah yang
merupakan keputusan mereka, maka untuk menguatkan kesepakatan tersebut mereka
melemparkan sebutir telur di atas batu pelantikan yang merupakan lambang bahwa
barang siapa yang melanggar kesepakatan tersebut akan hancur bagaikan hancurnya
telur itu.
Tatkala Tippange Tanah telah
menduduki tahta kerajaan, para tua-tua adat mengingkan agar arung Tippange
Tanah secepatnya menikah sehingga natinya ada keturunannya yang bisa
menggantikan kedudukannya. Berikut kutipan percakapan antara tu-tua adat dengan
Arung Tippange Tanah:
“Pada suatu hari Arung Tippange Tanah
sedang duduk bersama tua-tua adat tiba-tiba salah seorang berkata kepada Arung:
“ada baiknya barangkali kalau Arung junjungan kami ada yang mendampingi dalam
menjalankan pemerintahan supaya nantinya juga ada generasi yang yang akan
melanjutkan kepemimpinan tuan”. Menjawab Tippange Tanah “Baik juga usulanmu
itu, akan tetapi dengan siapa akan kujadikan permaisuri dan siapa pula yang
akan menjadi duta?” Serempak para tua-tua adat menjawab: “Kamilah yang akan
menjadi duta ke Kajang untuk meminang Putri Karaeng Kajang cucu Manurung Ujung
Lohe”
Seusai pembicaraan tersebut maka ditentukanlah harinya untuk berangkat ke
Kajang untuk meminang puteri Karaeng Kajang. Tidak lama kemudian berangkatlah
para duta ke Kajang. Setibanya di sana, menghadaplah para duta itu pada Karaeng
Kajang untuk menyampaikan maksud kedatangannya. Mendengar lamaran itu, maka
Karaeng Kajang berkata bahwa yang akan kami terimah adalah Arung yang
mempunyai Gellarang (adat). Menjawablah salah seorang dari mereka bahwa
kami ini adalah gellarang dari kerajaan yang diperintahnya. Mendengar
jawaban itu, diterimalah lamaran mereka dengan mas kawin (sompa) To selli. Segeralah mereka pulang ke kerajaan Tonroe
dengan perasaan gembira karena lamarannya diterimah.
Setibanya di Kerajaan Tonroe, menghadaplah mereka kepada Arung Tippange
Tanah menyampaikan bahwa lamaran mereka diterima dengan mas kawin (Sompa)
To Selli. Ditentukanlah hari pelaksanaan pesta perkawinan antara Arung
Tonroe yang bernama Tippange Tanah dengan Rampalalae yang
bergelar Puatta ri Palisiue puteri Kajang.
Dari perkawinan itu, mereka di karuniai dua orang anak, seorang perempuan
bernama Sappe Ri Bulu yang kemudian menjadi Raja I di Kerajaan Tondong,
dan sang Putera bernama Barubbu Tanae menjadi Arung di Kerajaan Bulo-Bulo.
Setelah Sappe Ri Bulu menjadi raja di Tondong, ia kemudian
diperistrikan oleh Karaeng Tiro Jaji Batara. Dari hasil perkawinannya
itu, ia dikaruniai tiga orang anak (Mandanaca, Samatimbang, dan Mangera
Baju). Mangera Baju inilah yang kemudian menjadi raja I di Kerajaan
Lamatti.
Dari keterangan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa yang menjadi
raja-raja di kerajaan Tellu Limpoe (Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti) adalah
keturunan To Manurung yang berasal dari Ujung Lohe. Sebagaimana
yang tersimpul dalam pengertian limpo-lipu yang berarti lingkaran
keluarga. Hal inilah yang menyebabkan sehingga ketiga kerajaan ini dikenal pula
sebagai kerajaan yang “mabbulo sipeppa” yang berarti bersatu
kukuh.
"Seusai pembicaraan tersebut maka ditentukanlah harinya untuk berangkat ke Kajang untuk meminang puteri Karaeng Kajang" siapa namanya puteri karaeng kajang, siapa nama Bapaknya yang dan terjadi pada abad ke berapa dilamar oleh Puang Tippange Tanah, dan siapa namanya karaeng kajang yang memerintah waktu. itu, mohon penjelasannya.
BalasHapusSetau saya perjanjian Topekkong merupakan perjanjian damai antara Gowa dan bone
BalasHapus